Cerita lain lagi,, bukan cerita sambungan dari postingan manapun,,
Here it is... (totally fiction!)
“Ranty Andriani,”
 “Hadir, Bu!”
 Seperti biasa Bu Sinta mengabsen murid-muridnya di tengah kelas geografinya, cukup aneh memang karena biasanya pengabsenan dilakukan di awal atau di akhir jam pelajaran. Tapi ketika ditanya, guru itu menjawab hal ini dilakukan untuk refreshing, menghilangkan kantuk, dan mengembalikan para murid dari dunia khayalnya lantaran tidak memperhatikan pelajaran.
 Sebenarnya argumen paling kuat yang pernah dikeluarkan oleh seorang murid untuk mengkritik pengabsenan itu adalah, “Bukannya pengabsenan di tengah pelajaran malah memecah konsentrasi belajar, Bu?”
 “Oh, saya malah berharap yang kamu katakan itu benar. Tapi mungkin kamu memang benar, baiklah, mulai besok pengabsenan akan ada di awal, dan akan saya tutup dengan pertanyaan untuk para siswa yang pastinya sudah berkonsentrasi sejak awal.” 
 Takut ditanya, terang saja satu kelas itu langsung memuji-muji pengabsenan di tengah pelajaran. “Sungguh cara yang elegan untuk mengembalikan saya ke dunia nyata!” puji seorang murid.
Dan dengan cepat percakapan singkat itu menyebar ke seluruh murid di empat kelas yang dipegangnya. Membuat mereka semua mendukung sepenuh hati cara Bu Sinta.
 
Pengabsenan masih berlanjut, “Rino Rahardian,”
 “Sakit.” Jawab seorang murid yang bukan bernama Rino.
 Di sudut kanan kelas, seorang murid malah mengajak teman disampingnya mengobrol. “Eh, Jo, lo udah nyiapin apa aja buat ulangan sejarah nanti?” 
 “Hah?! Emang sekarang ada ulangan sejarah?” tanya temannya yang bernama Jody kaget.
 “Lo lupa....” obrolannya berhenti.
 “Yaser Abdul!” Bu Sinta memotong pembicaraan mereka.
 “Eh, hadir, Bu!” jawab Yaser setengah kaget.
 Mereka berdua tidak meneruskan obrolannya lagi, pandangan mata Bu Sinta sudah cukup untuk mereka diam.
 Dalam hati Jody merutuk dirinya sendiri, baru ingat bahwa minggu kemarin Pak Taryana, guru sejarahnya, mengumumkan ada ulangan pada pertemuan berikutnya. Berarti hari ini, sehabis istirahat.
 “Sial, nilai gue bisa ancur, ni!” batinnya. Sebenarnya Jody sama sekali bukan anak yang ambisius dalam meraih nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Gak peduli malah! Namun masalahnya menjadi lain ketika ia lolos menjadi anggota di tim inti basket sekolah. 
 Peraturan di sekolah ini mensyaratkan pada semua murid yang mau mewakili sekolahnya dalam bidang apapun, termasuk pertandingan basket tentunya, semua nilai pelajaran non-eksaknya minimal 7. Sekolah tetap berprinsip bahwa tugas utamanya adalah mencetak siswa cerdas dan berprestasi.
 “Emangnya hebat dalam olah raga bukan prestasi?” batinnya kesal. Ia juga teringat dengan nilai 5-nya pada ulangan sejarah sebelumnya. Gue harus cari cara supaya ulangannya gak jadi, gue gak bisa ulangan mendadak kayak gini, apalagi sejarah, pikirnya.
 Jody berpikir keras untuk menemukan cara untuk membatalkan ulangannya. Sampai pelajaran berakhir dan bel tanda istirahat berbunyi pun ia memang belum menemukan caranya. Tapi ia tahu di mana ia bisa mendapatkan ide kreatif. 
     ><><><><
Wanda melirik jam tangan QnQ birunya, sudah sepuluh menit ia menunggu di kantin sekolah. Ia membaca kembali pesan masuk di ponselnya, 5 menit lagi kita ketemu di kantin. Jangan pura2 sakit perut, ada masalah penting. Menyangkut masa depan gw!
Tumben Jody sms kayak gini segala, pikirnya. Hmh, berarti alasan sakit perut udah harus gue ganti. Wanda memang rada malas kalau Jody minta ketemuan di sekolah, pasti ada yang gak beres atau dia mau minta bantuan untuk ide konyolnya. Terakhir Jody minta dukungan Wanda dan teman-temannya untuk membujug kepala sekolah agar membolehkan tukang bakso berdagang di dalam kelas. Wanda bersyukur ide itu tidak pernah sampai ke telinga para petinggi sekolah ini. 
  "Halo, Wan!" sapa Jody yang langsung duduk di depan Wanda.
  "Lama banget, sih!" sambut Wanda. 
  “Sorry, tadi tuh rame banget di depan mading, gue kira ada acara apaan, eh gak taunya cuman pengumuman acara maulid di sekolah minggu depan. Ni gue dikasih pamflet-nya,” Jody menunjukkan selebaran yang dibawanya.
 “Tumben banget pake nyebar pamflet segala,” kata Wanda heran.
 “Iya, soalnya katanya yang dateng Kyai siapa gitu, gue lupa namanya. Pokoknya terkenal, deh,” 
 Wanda hanya manggut-manggut sambil membaca selebaran itu. tertulis penceramah di acara maulid itu bernama Kyai Zainal Al Farizi, Wanda juga tidak begitu mengenalnya. 
  “Anyway, alasan gue buat nemuin lo itu sebenernya…” Jody mengalihkan pembicaraan. Wanda memandang ekspresi Jody yang sedang tersenyum padanya, hmh, pasti mau minta bantuan, keluhnya dalam hati. Ia sudah sangat mengenal ekspresi itu.
  "Udah gak usah senyam-senyum segala, jelek tau! Lo mau gue bantuin apaan?" tanya Wanda sebal.
  Senyum Jody melebar, "Mmm, Wan, nanti kan abis istirahat gue ada ulangan sejarah, tapi gue sama sekali belum belajar,"
  "Terus, apa hubungannya sama gue? Itu salah lo sendiri, dong!" kata Wanda cuek. Jody kapan, sih belajarnya? tambahnya dalam hati seakan dia sendiri sering belajar.
  "Gue pengen, ulangannya gak jadi tapi gue gak tau caranya gimana, lo ada ide gak?" Tanya Jody penuh harap.
  "Ya jujur aja. Lo minta ke gurunya supaya ulangannya dibatalin karena lo belum belajar."
  "Wanda, kalo kayak gitu tanpa harus nanya sama lo gue juga bisa. Tapi yang ada gue malah diceramahin sama tuh guru, gue mau pake cara halus,"
  "Makanya belajar!"
  "Please, Wan! lo tahu kan akibatnya kalo gue sampe dapet nilai jelek, Lagian lo kan sodara kembar gue, jadi kita harus saling tolong menolong."
Ya, mereka memang saudara kembar, suatu takdir yang kadang-kadang disesali Wanda, terutama pada saat seperti ini. Tapi mau gak mau Wanda harus membantunya, karena sebenarnya ia tidak pernah tega untuk menolak. Meski kembar karakter mereka berbeda, Wanda yang lebih girly (ya iyalah emang dia cewek) kalem, cerdas namun paling anti untuk jadi pusat perhatian berbanding terbalik dengan Jody yang belajar hanya untuk bisa masuk tim inti klub basket, dan hasratnya yang besar untuk menjadi cowok terkeren 2011. Mending gue ikut mewujudkan Indonesia sehat 2010, deh! Cibir Wanda ketika mendengar impian Jody.
“Emang guru sejarah lo siapa, sih?” tanya Wanda. 
“Pak Taryana.” Jawab Jody.
“Hah? Dia kan wali kelas gue, bisa gawat kalo ketahuan!”
“Yah, nyantai aja. ini kan buat ulangan kelas gue, bukan kelas lo. Jadi kalo ketahuan pun pasti gue yang kena. Ya, kan?” kata Jody meyakinkan.
Wanda berpikir sejenak, menimbang apakah wartawan akan mengejarnya jika di balik nama baiknya selama ini (padahal gak baik-baik amat), ternyata ia membantu menggagalkan ulangan yang diadakan wali kelasnya sendiri.
“Udah terlanjur, gue lanjutin aja,” kata Wanda pasrah.
“Jadi gimana caranya?”
Wanda membaca kembali selebaran yang dibawa Jody, “Ayo ikut gue ke belakang sekolah,” katanya sambil beranjak pergi.
“Hah, ngapain, Wan? Disitu kan sepi banget,” Tanya Jody sambil mengikuti langkah Wanda.
“Justru karena sepi,”
“Wanda, lo masih inget kan kalo kita sodara,”
“That’s why I help you, lo pikir kita ke sana mau ngapain?” Wanda merasa Jody menuduhnya punya rencana jahat, padahal kan rencananya cuma licik aja.
  Mereka telah sampai ke belakang sekolah, Wanda memang sengaja mencari tempat yang paling sepi agar rencananya tidak ketahuan. Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain selain mereka di tempat itu, Wanda membuka kembali selebaran acara Maulid yang dibawanya.
“So?” Jody semakin tidak mengerti.
“Liat deh siapa contact person-nya,” Wanda menunjukkan selebarannya pada Jody. 
Jody baru menyadari sesuatu, “Pak Taryana?”
Wanda mengangguk sambil tersenyum. “Pinjem hp lo,” kata Wanda. 
Meski masih bingung, Jody pun menyerahkannya. “Lo mau telepon dia?”
  Tanpa mempedulikan pertanyaan Jody, Wanda segera memencet nomor yang tertera pada biodata itu. "Halo," kata Wanda dengan suara seperti wanita dewasa. "Apa ini dengan Bapak Taryana?...Iya, saya ingin memberitahu bahwa Anda diminta segera ke Rumah Sakit Bhakti Yuda sekarang juga…Saya juga kurang tahu apa yang terjadi, tapi ini sangat mendesak, Pak…Iya, iya sama-sama, Pak!" Wanda menutup ponselnya lalu mengembalikannya pada Jody yang sedang tersenyum menatapnya.
  Jody langsung mengerti trik kembarannya. "Jadi begitu? Gak sia-sia lo jadi sodara gue, lo emang smart banget."
       ><><><><
  Malang tak dapat ditolak meskipun sudah meminum jamu Tolak Sial.  Ternyata semuanya gak semulus yang mereka duga. Gak tau dari mana sumbernya, dua hari kemudian pas waktu istirahat mereka dipanggil sama Pak Taryana di ruang guru. 
   "Kalian bingung kan kenapa kalian bisa ketahuan?" tanya Pak Taryana membuka pembicaraan sambil memasang senyum kemenangan.
  Wanda dan Jody saling berpandangan, dari ekspresi mereka jelas banget kalo mereka kebingungan. How come? Semua ini cuma dia dan Jody yang tau, dan Wanda yakin banget kalo waktu itu di belakang sekolah lagi sepi. Jadi gak mungkin ada yang mendengar pembicaraannya sama Pak Taryana. 
   "Baiklah, Bapak tidak akan memberikan ceramah panjang lebar karena Bapak yakin tidak akan didengarkan,"
  Wanda dan Jody langsung tertunduk. Merasa tersindir.
   "Jujur saja, sebenarnya Bapak merasa bingung memberi hukuman apa pada kalian,"
  Kalian? Kok gue kena juga, sih? Ini semua kan gara-gara si Jody. Kalo gue sih cuman sebagai peran pembantu doang, keluh Wanda dalam hati. 
   "Masalahnya, ulah kalian telah menipu seorang guru, dalam kasus ini malangnya Bapak sendiri. Selain itu juga menyebabkan semua anak sekelas kamu tidak jadi ulangan, Jody. Bapak sungguh tidak tega membayangkan anak-anak sekelas kamu yang sudah susah payah belajar sejarah, tetapi disaat waktunya ulangan, malah batal. Mereka pasti sedih sekali." Pak Taryana mengusap wajahnya dengan prihatin.
  Jody hampir tertawa mendengar kalimat terakhir gurunya. Sedih sekali? Sama sekali tidak! Dia masih inget banget ekspresi wajah teman-teman sekelasnya ketika pengumuman ulangan sejarah gak jadi karena Pak Taryana ada urusan mendadak. Semuanya mengucap puji syukur Alhamdulillah.
   "Sebenarnya Bapak juga tidak menyangka kamu terlibat, Wanda. Sebagai wali kelas, kamu cukup baik di mata Bapak."
  Wanda hanya bisa tertunduk malu, reputasi, harga diri, nama baik, harkat derajat dan martabatnya sudah hancur di mata wali kelasnya sendiri.    "Setelah Bapak pikir-pikir, pertama-tama Jody harus minta maaf dulu pada teman-teman sekelasnya karena sudah membuat mereka kecewa, sebagai buktinya kamu harus mengumpulkan tanda tangan mereka. Dan tentu saja kalian juga harus minta maaf pada Bapak,"
   "Maafkan saya, Pak!" kata Wanda dan Jody bersamaan.
   "Eh, Iya, iya, saya maafkan." Kata Pak Taryana kaget, gak nyangka kalo mereka bakal langsung minta maaf.
   "Oh, kalau begitu kami permisi dulu, Pak! Waktu istirahat udah abis. Jam pelajaran mau dimulai." kata Jody sambil berdiri.
   "Iya, Pak, saya juga." Wanda ikutan berdiri.
   "Eh, eh, mau ke mana kalian?" Tanya Pak Taryana bingung. 
   "Bukannya udah selesai? kan kami udah minta maaf?" tanya Wanda dengan wajah innocent-nya.
   "Iya, Pak. Saya juga bakal minta maaf juga, kok ke temen sekelas." timpal Jody.
   "Enak saja kalian!" Suaranya meninggi menahan amarah, percuma saja sikap berwibawa yang ia usahakan dari tadi. Anak-anak ini memang katerlaluan, pikirnya. "Duduk!".
   Wanda dan Jody kembali duduk dengan takut. "Iya, Pak. Tenang!" Jody berusaha meredakan emosi gurunya.
   "Kalian pikir dengan minta maaf saja cukup?" tanya Pak Taryana marah. "Saya kebingungan di rumah sakit cari informasi kesana-kesini, tapi nyatanya itu semua bohong."
   Wanda dan Jody semakin menunduk. Pak Taryana benar-benar marah sekarang. Mereka gak nyangka gurunya bakal semarah ini, Pak Taryana kan selama ini dikenal sebagai guru yang baik hati dan suka memaafkan di hari selain lebaran. Ya, salah mereka sendiri, sih, orang urusannya belum selesai, malah mau pergi aja, ditambah lagi dengan tampang mereka yang super Wajah Tanpa Dosa.
   "Ya, sudah," Pak Taryana meredakan emosinya, "Wanda, kamu juga harus minta maaf dan mengumpulkan tanda tangan anak-anak kelas Jody."
  Wanda sudah membuka mulutnya untuk protes, tapi langsung gak jadi begitu melihat tampang Pak Taryana. "Ehh, iya, Pak." Wanda kembali menunduk. Cuma minta maaf apa susahnya? Lagian, walaupun gak sekelas, temen-temennya Jody kan termasuk temennya juga. Jadi gak bakal canggung ato gimana.
   "Seperti yang Bapak katakan tadi, tentu minta maaf saja tidak cukup. Kalian juga harus membuat makalah tentang materi ulangan ini, yaitu, sejarah penemuan Homo Erectus di Indonesia. 30 lembar. Dikumpulkannya minggu depan."
  Haaaaaah?! Wanda dan Jody langsung terlonjak kaget, "Apa pak?! Buat makalah tentang Homo Erectus?! 30 lembar sampe minggu depan?" tanya Wanda gak percaya.
   "Tepat sekali! Kalian tidak perlu mengerjakannya satu-satu. Cukup satu makalah untuk kalian berdua" jawab Pak Taryana sambil tersenyum seakan menikmati ekspresi kaget wajah mereka. “Dan satu lagi, jangan menggunakan buku dari perpustakaan sekolah karena saya sudah membaca semua buku sejarah di sana. Lagipula, di sana tidak ada referensi lengkap untuk tugas kalian. Jadi carilah bahan di luar sana, berikan saya bacaan baru.”
   Appppaa?
   “Kenapa gak boleh, Pak? Saya cinta banget sama perpustakaan di sini!” tanya Jody.
   “Benarkah?” Pak Taryana tertawa, “Sayangnya saya tidak pernah melihat kamu masuk perpus, Jody.”
   Wanda menyikut Jody , “Kalo bikin alasan yang masuk akal!” bisiknya kesal.
   "Pak, kita kan masih SMU, kalo makalah kan biasanya buat mahasiswa. Jadi mending Bapak kasih kita satu buku referensi aja terus nanti kita rangkum. Kita buat satu orang satu deh, Pak!" ujar Wanda.
  Pak Taryana menggeleng, "Justru karena kalian masih SMU jadi kalian harus berlatih menjadi mahasiswa dari sekarang. Yaitu dengan membuat makalah."
   "Tapi, Pak…" sela Jody.
    "Ini sudah saya putuskan," potong Pak Taryana. "Tidak bisa diganggu gugat lagi. Atau, kalian lebih memilih saya mengirim surat skorsing pada orang tua kalian?" 
   "Tunggu dulu, Pak! Saya kan cuma bantuin aja, lagian saya gak sekelas sama Jody, jadi gak perlu ikutan bikin makalah." Wanda membela diri.
   "Itu sama saja. Apalagi saya wali kelas kamu, saya bisa saja menjatuhkan nilai kamu yang bagus-bagus itu,"
  Ugh, sial! Wanda gak bisa protes lagi, dia gak mau hasil belajarnya selama ini sia-sia. Ini semua gara-gara Jody! Wanda meremas tangannya.
   "Yang jelas, jika kalian tidak mengerjakan tugas istimewa ini, akan fatal akibatnya. Saya sendiri tidak habis pikir Jody, bagaimana kamu bisa mendapat ide konyol seperti itu,"
  Baru saja Wanda ingin buka mulut, Jody keburu memotongnya, "Sekali lagi saya minta maaf, Pak!" katanya cepat. Wanda hanya bisa terperangah menatap Jody yang menunduk.
    "Jo, kenapa lo ngaku kalo itu ide lo?" tanya Wanda setelah mereka keluar dari ruang guru. 
   "Udahlah, kita omongin lagi pas pulang sekolah, oke!" kata Jody lalu masuk ke kelasnya.
       ><><><><
 
  Sekarang sudah jam16.30, tapi Jody belum juga pulang ke rumah. Tadinya mau pulang sekolah bareng, tapi Jody baru inget kalo dia harus latihan basket. Jadi dia menyuruh Wanda untuk pulang duluan. Sebenernya bisa aja, sih Wanda maksa Jody bolos latihan supaya bisa pulang bareng, tapi mengingat dan menimbang kalo Jody baru aja kepilih jadi anggota inti di tim basketnya, Wanda jadi gak tega. Ya, terpaksa deh, dia pulang sendirian.
       ><><><><
  Di sebuah warung internet, Jody sedang sibuk mencari tempat meminjam buku (yang bisa dijiplak isinya) untuk makalah sejarahnya dengan mesin pencari. Latihan basket hanya alasan agar Wanda pulang duluan, ia bertekad untuk membuat tugas makalah itu sendirian. Sesungguhnya ia merasa bersalah karena sepertinya ia telah mempermalukan saudaranya di depan wali kelasnya. Jadi, tugas ini biar gue sendiri aja yang ngerjain, pikirnya. 
  Sebenarnya bisa saja ia menyalin dari berbagai tulisan yang ada di internet, tapi kekhawatiran bahwa Pak Taryana bisa saja mengetahui tugasnya hanya hasil unduhan dan menyebabkan hukuman yang lebih berat lagi. Lagipula di setiap tulisan yang ia temui tidak ada yang panjangnya sampai 30 lembar. Jody memang terlalu malas untuk mengumpulkan semua bahan tulisannya dari berbagai sumber. Baginya menemukan satu sumber yang lengkap itu sudah cukup. Kalo udah ketemu tinggal disalin aja, pikirnya.
  Ini dia! Ternyata ada bukunya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jody sangat bersemangat ketika menemukan sebuah buku tentang manusia purba.
   Lokasi perpustakaannya ternyata ada di universitas yang tidak jauh dari sekolahnya. Jody segera mencatat informasi buku itu. 
  No. Index : S429x98
  Judul  : Penemuan Fosil Homo Erectus di Sangiran dan Trinil
  Penulis : Koesmono Adijaya
  Tempat : Perpustakaan Utama Lt. 4
  
   20 menit kemudian Jody sudah ada di depan penjaga pepustakaan di lantai 4 yang menanyakan hal-hal tak terduga olehnya. Ternyata buku itu bukanlah sebiah buku teks seperti yang dibayangkan Jody sebelumnya, melainkan sebuah skripsi, yang, sesuai peraturan yang baru Jody tahu dari penjaga itu bahwa skripsi tidak boleh dipinjam bahkan oleh mahasiswanya sendiri. Orang yang mau meminjamnya hanya boleh mem-fotocopy-nya dengan menunjukkan KTP.
   Sayangnya, Jody baru 16 tahun. Kartu pelajar tidak berlaku di sini Damn! Kenapa tadi di web gak ditulis kalo itu skripsi sih? Ia juga menyesal tidak membaca peraturan peminjaman yang tertera di situs itu. Batinnya kesal. Ok, gue udah nyampe sini, gak boleh pulang dengan tangan kosong!  Seenggaknya gue harus beli bakso di kantin sini, Bukan! Bukan! Kok malah itu, sih? Jody mengomeli dirinya sendiri. Ia lalu membulatkan tekadnya, mencari cara untuk mendapatkan buku itu. 
  Gue harus keliatan meyakinkan bahwa gue adalah pecinta sejarah dan sangat membutuhkan buku itu. “Pak, ada cara lain gak supaya saya bisa baca skripsi itu? Saya sedang mendapat tugas dari guru saya untuk menulis tentang Homo Erectus, sebenarnya bisa saja saya mengunakan buku di perpus sekolah, tapi gak ada yang lengkap, paling cuma ditulis satu bab.” Jody menatap penjaga perpus itu. “Saya memang murid yang perfeksionis yang selalu ingin tugas saya harus lengkap. Jadi, bisakah Anda meminjamkannya pada saya?”
  Penjaga itu terdiam sebentar. Entah menatap heran atau kagum pada Jody. “Jadi kamu tertarik sama homo erectus?”
  “Sangat!” padahal batinnya berkata, najis dah kalo gue sampe beneran tertarik sama manusia purba. Gue masih normal sebagai cowok.
  “Bagus, jarang ada anak seperti kamu. Tapi tidak heran juga kamu tertarik, saya juga suka sejarah purba, kamu tentunya tahu kan keunggulan manusia jenis homo?” 
  Hah?! Kehebatan orang homo?
  Maksudnya mereka bisa menahan nafsu terhadap wanita? Mampu melarikan diri dari Satpol yang merazia para banci? Perasaannya lebih lembut? Jody terus bertanya-tanya dalam hati apa maksud pertanyaan penjaga ini dan jawaban yang paling tepat yang harus ia lontarkan.
  “Hmmm,,” Jody terus berpikir. Ia yakin jawabannya tentang manusia homo pasti benar. “Mereka bisa menahan naf…”
  “Pak Joko!” seorang Ibu paruh baya tiba-tiba memanggil penjaga itu lalu menghampirinya. 
  “Oh, ada apa, Bu?” penjaga yang bernama Pak Joko itu menoleh.
  “Buku di rak R2 sudah kok belum dipindahkan ke lantai 2?”
  “Oh, iya, Bu. Tadinya sudah saya mau kerjakan, tapi ada anak ini,”
  “Siapa dia?” tanya Ibu itu, membuat Jody semakin tidak enak.
  “Anak SMA yang mau pinjam skripsi di sini.” Jawab Pak Joko. Ibu itu segera menoleh heran pada Jody.
  Jody pun cepat-cepat menjelaskan niatnya. Hal yang sama yang ia ceritakan pada Pak Joko sebelumnya.
  “Oh, bagus juga sih kamu perfeksionis,” komentar Ibu itu akhirnya. “Manusia jenis homo itu memang menurut penelitian lebih cerdas dan mempunyai kehidupan yang lebih maju.”
  Ooh, Jody baru tersadar akan kebodohannya tadi. Tentu saja yang mereka bicarakan jenis manusia homo di zaman purba. Gue tadi mikir apa, sih? Jadi ngerasa bego sendiri. “Iya, Bu, mereka memang lebih cerdas dari manusia jenis lainnya.” Jody segera menutupi kebodohannya.
  “O, iya, tadi kamu bilang manusia homo bisa menahan-naf apa?” tanya Pak Joko.
  Kenapa masih inget, sih? Batin Jody kesal. “Bisa menahan naf…” Jody berpikir keras. Gak mungkin bisa menahan nafsu. “…as. Ya saya pernah baca di sebuah jurnal bahwa ada kemungkinan homo erectus itu bisa menahan nafas tiga menit,” Jody berharap khayalan super indahnya bisa diterima oleh akal kedua orang di depannya.
  Ibu dan Bapak itu lantas terkejut dengan perkataannya. Jody pun cepat-cepat menambahkan, “Makanya saya mau mencari tahu dari semua buku tentang homo erectus bahwa penelitian itu benar atau nggak.”
  Keduanya terdiam sebentar lalu saling menoleh dan menatap Jody. Yang ditatap menjadi semakin tegang. Apa gue langsung diusir dari sini?
  “Ok, kamu bisa mem-fotocopy skripsi itu.” Kata Ibu itu. “Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya!”
  “Terima kasih banyak!” senyum Jody melebar. 
       ><><><><
 
  Di kamar, Wanda memandang foto yang dicetak Jody dua minggu lalu, foto ia, Jody dan teman-temannya di tribun penonton di dalam lapangan basket sekolah ketika mendengar pengumuman bahwa Jody lolos sebagai tim inti klub basket. Ia masih ingat waktu dia dan temen-temennya jadi supporter Jody. Waktu itu tim udah memilih empat pemain inti, dan untuk pemain yang terakhir pelatih masih bingung antara memilih Jody atau anak kelas satu lainnya yang bernama Rino. Saat itu untuk memilih salah satunya, pelatih menyuruh mereka tanding satu lawan satu dan yang paling cepat mencetak point duluan, dialah yang akan terpilih.
  Waktu itu Wanda 'n friends dengan semangat 45 ngedukung Jody (Jody janji bakal nraktir mereka kalo dia kepilih), mereka semua duduk di bangku penonton yang ada di belakang ringnya Rino, katanya, sih biar kalo bolanya masuk bisa lebih keliatan (emangnya sepak bola?). Tapi Wanda sendiri gak ada di bangku penonton, dia berdiri sambil memegang kamera di belakang ringnya Jody soalnya dia pengin mengambil gambar pas Jody dan Rino rebutan bola di bawah ring. Dan bener aja, dia berhasil mengambil gambar mereka pas lagi rebutan bola di bawah ring, saat itu Rino lagi mau bikin dunk, tapi berhasil diblok sama Jody. Akhirnya Jody mendapatkan bola itu dan segera melakukan serangan balik, Jodypun menang.               
  Satu jam berlalu, tapi Jody belum juga menunjukkan penampakannya. Jody ke mana aja, sih? Masa latihan basket sampe malem gini belum juga selesai? Tanya Wanda dalam hati. Tapi kalo dipikir-pikir kok dia, ya yang ngerasa bersalah? kan Jody yang maksa dia ngelakuin semua ini, lagian akibatnya kan gak berpengaruh apa-apa sama kelas-nya. Jadi, yang paling disalahin dalam masalah ini harusnya Jody, bukan dia. 
  Tapi kok tetep ngerasa bersalah, ya?
  Arrrrgh! Wanda jadi pusing, apalagi dia harus bikin makalah tentang sejarah Indonesia. Sejarah, kenapa harus pelajaran sejarah, sih? Wanda mengeluh dalam hati. Pasti-nya dia akan jauh lebih bersemangat kalo harus membuat makalah tentang Harry Potter yang booming di banyak negara atau sejarah tentang kejadian mengecilnya tubuh Sinichi Kudo di film Detective Conan.
   "Tok! Tok!" tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Wanda.
   "Masuk!" kata Wanda.
   "Hello!" Wanda menoleh, kepala Jody muncul di balik pintu.
   "Hmh, dari mana aja, lo?" tanya Wanda sebel, lalu duduk di atas kasurnya.
  Jody tersenyum, "Lo pasti dari tadi nungguin gue, ya?" tanya Jody lalu duduk berhadapan dengan Wanda.
   "Enggak, cuma heran aja hari gini baru pulang," jawab Wanda gengsi. "Mana masih setelan seragam lengkap, lagi!" tambahnya sambil menatap Jody dari atas sampe bawah.
   "Ya, tadinya juga gue mau diomelin sama Mama gara-gara pulang jam segini terus masih pake seragam, dikiranya gue bolos sekolah. Tapi begitu gue jelasin kenapa gue telat pulang, eh, Mama malah seneng dan bangga sama gue,"
   "Kok bisa? Emang lo ngomong apaan?" tanya Wanda.
   "Itu bukan karena omongan gue, harusnya lo nanya 'emang lo ngapain?'"
   "Iyaa, emang lo ngapain?" tanya Wanda sebel. Ribet banget, sih!
   "Gue tadi ke perpustakaan di universitas gitu, deh!" 
   "What?! Perpustakaan universitas? Lo beneran pergi ke sana? Bener-bener keajaiban dunia!" kata Wanda gak percaya. Jody pergi ke perpustakaan universitas itu emang suatu kajaiban baginya, secara kembarannya itu juga gak pernah ke perpustakaan sekolah.
   "Gak usah histeris gitu, deh. Biasa aja lagi, ekspresi lo sama aja kayak Mama tadi." kata Jody sebel. Kesannya kayak yang dia bener-bener gak pernah baca buku.
   "Ok, terus kenapa tiba-tiba lo ke sana? Pasti ada apa-apanya, apa karena omongan Pak Taryana yang langsung ngerubah lo jadi kutu buku?" 
   "Ya, ini emang karena Pak Taryana," Wanda melotot kaget mendengarnya. Bener-bener gak nyangka kalo seorang guru seperti Pak Taryana bisa ngerubah Jody hanya dengan satu kali omongan.
   "Tapi gue ke sana bukan mau baca buku," sambung Jody cepat, dia ngerasa gak enak dipelototin Wanda kayak gitu. 
   "So?" ekspresi Wanda langsung berubah.
   "Gue ke sana minjem buku yang gak ada di perpus sekolahan." Wanda masih gak ngerti. "Gue minjem ini…" lanjut Jody sambil membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku fotokopian tebal yang dijilid.
   "Apaan tuh?" 
   "Liat aja sendiri!" Jody memberikan buku itu pada Wanda.
  Wanda membaca judul buku itu. "Ini kan skripsi tentang penemuan homo erectus?" tanya Wanda makin gak ngerti. 
  Jody hanya mengangguk bangga sambil tersenyum tanpa ingin menceritakan bagaimana ia mendapatkannya. "Justru itu, masalah kita udah selesai sekarang."
  Sekarang Wanda mengerti maksud Jody. Namun, masih ada keraguan dalam hatinya. "Lo yakin kita bisa pake ini? Ini kan biasanya buat mahasiswa, lagian kita buat makalah kan? Bukan skripsi,"
   "Bukannya Pak Taryana sendiri yang bilang kalo kita harus latihan jadi mahasiswa dari sekarang? Lagian pake skripsi atau makalah sama aja, lagi. Toh, kita gak bakal nyalin semuanya.” Jody menatap kembarannya. “Siap buat ngerangkum 30 lembar?”
to be continued...
Rabu, 26 Agustus 2009
El-WanJoGie: Chapter 1
Labels:
novel wanna be
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 

Comments :
Posting Komentar