Kamis, 27 Agustus 2009

El-WanJoGie: Chapter 1 _ bag.2

Wanda dan Jody berdiri di depan pintu kelas X4, masing-masing membawa sebuah karton untuk tanda tangan. Kesannya kayak yang mau kampanye OSIS.
"Are you ready?" Wanda menoleh ke Jody.
"Dari tadi juga gue udah ready! Ini kan kelas gue sendiri. Nyantai aja lagi, kayak yang mau minta sumbangan aja." jawab Jody nyantai.
"Emang kita mau minta sumbangan, kan?" Jody refleks menoleh gak ngerti. "Sumbangan tanda tangan." tambah Wanda.
"Hmh!" Jody mendengus garing. "Cepetan masuk!"

Mereka berduapun membuka pintunya dan masuk ke kelas. Ngeliat mereka berdua dengan karton di tangan, anak-anakpun langsung terdiam.
"Lo berdua mau kampanye OSIS?" tanya seorang cowok yang duduk di bangku depan yang langsung disambut dengan tawa anak-anak lainnya.
Diketawain kayak gitu jelas aja membuat mereka berdua gak enak. Wanda menyikut lengan Jody supaya bicara.
Akhirnya Jody menjelaskan sebab musabab kenapa mereka harus ngumpulin tanda tangan anak-anak X4. dan seperti yang sudah diduga sebelumnya, bukannya ngerasa kecewa, anak-anak malah berterima kasih udah diselamatin dari ulangan sejarah. Banyak komentar yang menyertai mereka dalam misi mengumpulkan tanda tangan.
"Kapan-kapan, lo kayak gini lagi, ya!"
"Gila, lo ngebohongin guru! Bener-bener kreatif."
"Tingkatkan, ya!"
"Gak professional, lo! Masa cuma gitu doang lo bisa ketahuan?"
"Membohongi seorang guru? Sungguh tidak berperikemuridan."
Semua anak di kelas itu sudah tanda tangan, Jody dan Wanda menghitung jumlah semuanya. Hanya 23, kurang satu. Sebenarnya jumlah siswa di kelas itu ada 25, tapi masa Jody harus ikut tanda tangan juga?
"Satu lagi siapa, nih yang belum?" tanya Jody pada semua anak di kelas.
"Kayaknya si Rino, deh. Tadi gue liat dia masih di toilet." jawab seorang cewek.
"Kok lo tau, sih? Itu kan toilet cowok?" tanya anak di belakangnya.
"kan tadi pas dia mau masuk toilet cowok, gue pura-pura gak sengaja nabrak dia," jawab cewek itu sambil tersipu malu.
"Huuuuu!" sorak anak-anak.
"Ya, udah, kita ke toilet cowok sekarang, yuk! Dari pada nunggu lama di kelas," ujar Wanda.
"Lo mau masuk ke toilet cowok, Wan?" tanya Jody gak percaya.
"Ya, enggaklah! Gue tunggu di luar." jawab Wanda cepat.
Mereka gak perlu ke toilet cowok, soalnya pas lagi jalan di koridor mereka ketemu Rino yang mau ke kelas.
"Hai, No!" sapa Jody. "Kita mau minta bantuan lo sedikiiit aja,"
"Bantuan apa?" tanya Rino cuek.
"Cuma tanda tangan aja, kok. Di karton gue dan Jody," jawab Wanda.
"Males, ah! Gue gak mau bantuin lo berdua." Rino beranjak pergi.
"Eh, tunggu dulu!" Wanda menghalangi jalan Rino.
"Kok lo gitu, sih? Kita cuma mau minta dua tanda tangan lo doang, abis itu kita pergi." Kata Jody kesal. Ni anak belagu banget, sih! Pikirnya.
Wanda berusaha sabar, "Iya, lagian kita minta tanda tangan ini karena…"
"Gak usah diceritain, gue udah tau, kok!" potong Rino keceplosan.
"Lho? Tadi lo kan gak ada di kelas? Lo tau dari mana?" tanya Wanda.
"Ya, gue taulah," gue udah terlanjur ngomong, sekalian aja biar mereka tau semuanya. Toh, mereka juga gak bisa berbuat apa-apa sama gue, pikir Rino. "Dari guru yang kalian tipu." jawab Rino super jutek.
"Pak Taryana? Kok dia bisa cerita sama lo?" tanya Jody gak ngerti, begitu juga Wanda.
"Gue gak sengaja ketemu sama dia di rumah sakit," jawab Rino. Jody baru ingat, hari itu kan Rino gak masuk sekolah gara-gara sakit. "Pas dia nyadar kalo dia ditipu sama lo berdua, dia nanya nomor penelepon gelap yang ada di hpnya. Kebetulan aja di hp gue ada nomor yang sama, dan itu nomor lo, Jo." Kata Rino sambil tersenyum sinis.
"Dan.." Rino menoleh ke Wanda, "Pak Taryana bilang kalo yang ngomong itu suara cewek. Siapa lagi kalo bukan lo, Wan?" Rino memandang remeh Wanda yang menahan kekesalannya.
"Jadi yang ngasih tau Pak Taryana itu lo?" tanya Jody marah.
"Ya, iyalah. Gue gitu, lho!" jawab Rino bangga.
"Kenapa, No? Apa lo kecewa ulangan sejarahnya dibatalin" tanya Wanda kesal.
"Tentu aja bukan itu alasan gue, gue malah seneng gak jadi ulangan. Gue cuma mau balas dendam sama kalian," jawab Rino.
"Balas dendam apa?"tanya Wanda heran, perasaan selama ini dia jadi anak baik, deh.
"Lo berdua masih inget pas pemilihan pemain inti di tim basket? Gara-gara kalian gue gak kepilih!" jawab Rino kesal.
"Itu kan emang karena lo kalah sama gue, gue kan yang berhasil nyetak poin duluan?" kata Jody.
"Harusnya gue yang nyetak poin duluan. Dan lo harus inget, gue gak pernah kalah sama lo!" jawab Rino berapi-api.
"Tapi kenapa, No?" Wanda masih gak ngerti.
"Kenapa? Lo mau ngebela sodara kembar lo yang gak berguna ini?" ejek Rino. Jody menoleh ke Wanda, gak nyangka kembarannya bakal ngebela dia.
"Enggak, silahkan aja lo mau ngelaporin Jody. Tapi kenapa lo bawa-bawa gue? kan yang buat lo kalah cuman si Jody?" tanya Wanda.
Gubrak! Gue kira lo mau ngebelain gue, Wan! Umpat Jody dalam hati.
"Gue kalah juga karena lo, blitz kamera lo kena mata gue dan itu ngebuat dunk jadi gagal!"
Wanda terperangah kaget. Gak nyangka kalo Rino gagal waktu itu gara-gara blitz kameranya.
"Harusnya gue yang nyetak poin duluan dan gue yang jadi pemain inti. Bukan looser kayak dia," Rino menunjuk Jody.
"Enak aja lo bilang gue looser! Gue juga punya kemampuan dan pantes jadi pemain inti!" kata Jody marah.
Jody dan Rino hampir berantem kalo gak dipisahn Wanda dan anak-anak lain yang kebetulan lewat. karena gak mau dibawa ke kantor BP, mereka akhirnya dibawa ke kelas untuk diadili sama anak-anak.
Tadinya Rino mau cerita tentang alasannya berantem sama Jody. Tapi keburu dipotong sama Jody, dia bilang kalo Rino gak mau tanda tangan karena dia cinta banget sama sejarah dan mengusulkan supaya ulangan sejarah lebih sering diadakan. Jelas aja Rino dimarahin sama anak sekelas dan itu membuat Rino gak punya kesempatan buat ngejelasin alasan dia yang sebenarnya. Jadi, walaupun kepaksa, dia mau juga tanda tangan.
Fiuh! Akhirnya selesai juga tugas mereka. Dua-duanya udah jadi, tinggal dikasihin aja ke Pak Taryana.

><><><><

"Oh, sudah selesai?" Tanya Pak Taryana ketika Wanda dan Jody menyerahkan kedua tugasnya di ruang guru. "Bagus juga, kalian bisa tepat waktu."
Pak Taryana memeriksa tanda tangannya lebih dulu, Wanda bisa menangkap ekspresi gurunya yang berubah saat melihat tanda tangan Rino, namun cepat-cepat ekspresinya berubah menjadi biasa lagi. Mungkin Pak Taryana pikir Rino gak bakal tanda tangan, pikir Wanda.
"Jadi, kita udah gak ada tugas apa-apa lagi kan, Pak?" tanya Jody.
"Ya, kalian boleh pergi sekarang." jawab Pak Taryana, ada sedikit nada terpaksa dalam suaranya.
"Terima kasih, Pak!" kata Wanda dan Jody serempak lalu pergi.
"Si Rino gimana, sih? Katanya gak bakal tanda tangan," gumamnya sambil memeriksa kumpulan tanda tangan itu. "Kalo gini kan saya gak bisa ngasih tugas lagi sama mereka."
Guru itupun beralih memeriksa makalahnya. Begitu memeriksanya, ia langsung tersentak. "Ini kan…" ia terus memeriksa makalah itu sampai halaman terakhir.
Karma! Pikirnya. Walaupun sudah diringkas, tetap saja ia tahu itu adalah skripsi seorang mahasiswa jurusan sejarah. Skripsi yang sama dengan yang ia salin untuk mendapatkan gelar sarjananya.
Ia menggenggam tangannya keras-keras, giginya terkatup rapat. Bisa saja ia memanggil kembali kedua anak itu karena ia tahu makalahnya hasil merangkum skripsi. Tapi ia mengurungkan niatnya, takut karmanya melebar.

><><><><

"Wanda makan malamnya udah siap, tuh!" kata Jody sambil menggedor pintu kamar Wanda.
"Iya, gak usah digedor, gue gak budeg!" kata Wanda kesal. Ia pun pergi ke meja makan dan bergabung dengan keluarganya.
"Gimana sekolah kalian?" tanya Papa membuka pembicaraan.
Wanda dan Jody saling berpandangan. Komunikasi lewat mata saja sudah cukup bagi mereka untuk mencapai satu kesepakatan. Gak bakal ngasih tahu orang tua mereka tentang masalah dengan Pak Taryana ataupun Rino. Lagian, semuanya kan udah selesai.
"Fine." jawab Wanda pendek.
"Ya, semuanya baik-baik aja," tambah Jody.
Suasana kembali sepi, semua orang fokus dengan makan malamnya masing-masing. "O, ya, Papa denger…"
Deg! Wanda dan Jody langsung berhenti makan, jangan-jangan Papa udah tahu kalo…
"…Sekolah kalian mau ngadain acara Maulid Nabi, ya?" Tanya Papa.
Fiuh, kirain! Batin Wanda dan Jody lega.
“Iya, di sekolah juga beritanya lagi rame, sampe disebarin pake pamphlet segala.” Kata Jody.
“Kenapa sih kesannya rame banget? tahun kemaren juga ada acara idul qurban di sekolah biasa aja,” tanya Wanda.
“Ya jangan disamain sama qurban lah! Maulid memang penting, apalagi yang dateng Kyai Farizi.”
“Kok Papa tahu yang dateng Kyai Farizi?” tanya Wanda.
“Lah kalo orang terkenal gitu pasti beritanya cepet nyebar. Orang temen-temen kantor Papa juga banyak yang ngomongin,”
“Emang Kyai itu terkenal?” tanya Jody polos.
“Ya ampun Jody, kamu gak pernah denger tentang Kyai Farizi?” tanya Mama kaget, ternyata anaknya begitu kuper.
"Masa gak tau?! Makanya jangan cuma merhatiin basket aja," kata Papa. "Kamu juga Wanda, jangan-jangan kamu juga gak tahu siapa Kyai Al-Farizi?" tambahnya.
"Ya, cuma pernah denger aja, sih," jawab Wanda.
"Nah, yang ini mendingan. Walaupun gak tahu, seenggaknya kamu pernah denger tantang beliau," kata Papa.
"Emangnya lo pernah denger di mana, Wan?" Tanya Jody, gak rela disebut lebih kuper dari Wanda.
"Barusan kan Papa sendiri yang ngomong?" jawab Wanda polos.
Gubrak! "Ah, kalian berdua sama aja, sama-sama kuper!" kata Papa sebel.
"Ya, udah. Jadi siapa sih Kyai Al-Farizi?" tanya Wanda gak sabar.
"Jadi, beliau itu Kyai yang paling top sekarang di kalangan rakyat, soalnya beliau berhasil membujug presiden untuk menunda kenaikan harga sembako dan BBM sampe presiden itu habis masa jabatannya," jelas Papa.
"Kyai Al-Farizi juga punya pesantren yang standarnya sudah diakui lho." tambah Mama. "Terus coba nanti kalian dengerin ceramahnya, bener-bener menyejukkan jiwa." Kata Mama sambil mengelus dadanya.
"Ya, pasti kita diwajibin dengerin ceramahnya sama guru-guru." kata Jody lalu menoleh ke Wanda. Wanda hanya mengangguk. Gak ada pilihan lain, pikirnya.

><><><><

Benar kata Papa, minggu depan sekolah memang mau mengadakan acara maulid nabi dengan Kyai Al-Farizi sebagai penceramahnya. Pengumumannya sudah ada di mana-mana, dari poster besar di mading sampe guru-guru setiap mata pelajaran pasti memulai pelajarannya dengan pengumuman tentang acara maulid dulu, sampe anak-anak bosen dengernya.
Sekarang jam terakhir, waktunya Bu Yanti untuk mengajar biologi. Gak beda sama guru-guru lainnya hari ini, Bu Yantipun mengawali pelajarannya dengan…
"Anak-anak, kalian tahu gak kalo minggu depan…"
"Acara maulid nabi dengan penceramah Kyai Al-Fariziiii!" potong anak-anak serempak.
"Oh, ya, sudah kalau begitu. Kita langsung saja melanjutkan pelajaran kemarin," kata Bu Yanti menghilangkan rasa malunya. Kirain belum pada tahu, umpatnya dalam hati.

><><><><

Minggu depanpun tiba, para murid dan guru terlihat mendadak sufi dengan baju koko dan pakaian muslimah. Berhubung acara ini bebas untuk semua orang, maka acaranya diadakan di aula sekolah agar bisa menampung semuanya.
Karena bosan, di tengah acara Wanda dan Jody menyusup ke balik panggung untuk melihat-lihat (bukan membantu).
"Wan, gue ke mau ke bagian konsumsi dulu, ya! Pokoknya kita balik lagi kalo Kyainya udah dateng, oke!" kata Jody lalu pergi.
Jody pasti mau ngantongin makanan, pantes aja tadi di rumah dia pengen pake baju koko yang ada sakunya, batin Wanda.
Wanda akhirnya jalan-jalan sendirian di belakang panggung, menonton orang-orang yang sibuk mempersiapkan acara. Sebenarnya, sih dia mau ikut membantu, tapi begitu dia mendekat, orang-orang yang lagi sibuk bekerja itu malah mengusirnya. Takut jadi berantakan, pikir orang-orang itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke sebuah ruangan kecil yang ada di sudut ruangan. Ketika ia baru sedikit membuka pintunya, ternyata ada orang di dalam. Eh, itu kan Rino? Dia lagi ngapain? Tanya Wanda dalam hati. Mencurigakan! Pikirnya, ia pun terus mengintip Rino dari balik pintu.
Rino sedang membuat secangkir teh lalu dia mengambil sesuatu dari sakunya. Wanda memicingkan matanya, semakin meneliti apa yang dilakukan Rino. Ternyata Rino mengambil sebuah bungkusan yang berisi bubuk putih lalu mencampurnya dengan teh itu.
Rino mau keluar dari ruangan itu, Wanda cepat-cepat bersembunyi. Ia tetap mengikutinya dari belakang. Dari kejauhan ia melihat Rino memberikan teh itu pada Jody dan Jody menerimanya!
Gawat! Jangan sampe Jody minum teh itu, pikirnya. Saking tergesa-gesanya Wanda gak nyadar kalo kakinya kesangkut kabel dan iapun terjatuh.
Gak peduli sama orang-orang yang menatapnya kasihan (atau tertawa?) Wanda tetap menghampiri Jody. Ternyata teh itu udah gak ada di tangan Jody.
"Jo, teh yang dari si Rino mana?" tanya Wanda khawatir.
"Kok lo tahu sih gue dapet teh dari dia?" Jody balik nanya. Wandapun buru-buru menceritakan tentang bubuk putih itu.
"Wah, gawat! Tehnya udah gue kasih ke Asti. Katanya persediaan minuman abis, jadi teh itu yang bakal disediain buat Kyai Al-Farizi," Jody ikut panik.
"Nah, itu Asti!" Wanda menunjuk seorang anak yang lagi berdiri di belakang panggung. "Ayo kita tanyain, kali aja tehnya belum dikasih!" mereka berduapun segera menghampiri Asti.
"Ti, teh yang dari gue mana?" tanya Jody.
"Tuh! Udah dikasihin ke Kyainya." Asti menunjuk segelas teh yang ada di meja seorang bapak paruh baya yang memakai baju koko yang dibalut dengan jas. Jadi itu Kyai Al-Farizi? Ternyata beliau udah dateng, dan sedang bersiap-siap mau ceramah.
"Aduh, gimana, dong?" tanya Jody bingung.
"Kita ke panggung sama Papa aja, orang-orang pasti percaya." Kata Wanda.
"Bener juga, lo!" kata Jody. Mereka berdua segera kembali ke tempat penonton mencari Papa. Begitu ketemu, Wanda cepat-cepat menjelaskan semuanya. Papa jadi ikutan panik. Akhirnya mereka bertiga naik ke atas panggung tepat saat Kyai Al-Farizi sudah meminumnya.
"Jangan diminum, Pak Kyai!" seru Papa.
Seluruh aula terdiam. Mereka bertiga mendadak jadi pusat perhatian. Kyai Al-Farizi meletakan gelasnya.
"Ada apa?" tanya Kyai itu.
"Di dalam teh itu ada racunnya!" kata Wanda.
"Iya, Pak!" timpal Jody.
"Masya Allah! Saya sudah meminumnya," kata Kyai itu kaget.
Semuanya terdiam. Terkejut. Dan menunggu dengan gelisah hal apa yang akan menimpa Kyai Farizi selanjutnya.
Sudah lima menit berlalu, tapi tidak terjadi apa-apa.
"Lho, kok gak terjadi apa-apa? Katanya beracun?" tanya Rino yang tiba-tiba muncul dari belakang panggung.
"Eh?" Wanda, Jody dan Papa saling berpandangan.
"Eh, mmm, sebenernya…" kata Papa salah tingkah menahan malu. Pasti tadi Wanda salah liat! Batinnya kesal. "Ini anak-anak saya hanya terlalu kagum sama Pak Kyai, sehingga ingin mencari perhatian Bapak. Sebenarnya mereka berdua ini, ingin mesantren di pesantren yang Bapak pimpin." Papa menoleh ke Wanda dan Jody dengan pandangan, awas-kalo-enggak! "Iya, kan anak-anak?"
"Mmm, eh, iya," Wanda menyikut Jody.
"Iya, iya, Pak. Saya benar-benar kagum sama Bapak." Kata Jody dengan senyum kepaksa.
"Oh, boleh saja jika kalian ingin mesantren di pesantren saya." jawab Kyai itu berwibawa.
Sumpah, di detik itu juga satu keluarga itu bener-baner ngerasain yang namanya Malu Berat!

><><><><

"Kalian benar-benar membuat malu Papa!" bentak Papa.
Wanda dan Jody hanya bisa diam, tertunduk menatap karpet ruang tamu.
"Tapi niat kita kan baik, Pa! Mana kita tahu kalo jadinya bakal malu-maluin," kata Wanda membela diri. Wanda meremas tangannya. Masih segar dalam ingatannya ketika Rino tertawa terbahak-bahak di atas panggung. Benar-benar sial! Ternyata Rino sebenarnya ingin memberikan minuman itu kepada Jody. Minuman yang, Wanda ketahui belakangan dari temannya yang anggota bagian kesehatan sekolah, dicampur dengan obat pencuci perut yang reaksinya tidak dapat dirasakan secara langsung, namun bereaksi satu jam kemudian setelah meminumnya. Pantas saja setelah lima menit Kyai Farizi meminumnya ia tetap merasa baik-baik saja.
Wanda dan Jody juga sebenarnya sudah menceritakan kronologis kejadiannya dan menyebut Rino sebagai dalang dari semua ini. Tetapi tetap tidak meredakan kemarahan Papa, baginya, rasa malu tidak bisa ditarik kembali. Sungguh peristiwa paling konyol dan bodoh yang ia pernah alami selama hidupnya.
"Pa, tapi kita ga' bener-bener bakal pesantren 'kan Pa?" tanya Jody penuh harap.
"Iya, Pa. banyak hal yang ga' bisa aku tinggalin di sini," timpal Wanda.
Keduanya menatap Papa dengan penuh harap. Di sisi lain, Papa merasa tidak ada jalan lain lagi, ia tahu kedua anaknya tidak bersalah, malah mau berniat baik. Namun semuanya sudah terlanjur terucap, di depan ratusan orang ia telah mengatakan akan menyekolahkan anak-anaknya di pesantren Kyai Farizi. Ia menghela nafas. Dikeluarkannya kartu nama Kyai Farizi dari sakunya, menimbang apakah ia akan menelepon Kyai itu malam ini untuk membicarakan perpindahan anak-anaknya.
“Kita tidak bisa mundur dari apa yang telah kita ucapkan, kalian tahu itu kan?” Papa menatap Wanda dan Jody. "Mau tidak mau, kalian harus pindah sekolah dan pesantren di sana." lanjutnya.
"Apa, Pa?!" Wanda dan Jody terlonjak kaget.
"Jadi, Papa serius?" tanya Wanda ga' percaya.
"Ya, Papa akan minta surat keterangan pindah sekolah besok," jawab Papa.
"Tapi, Pa, ini sama sekali ga' adil. Aku baru aja diterima jadi pemain inti di tim basket," kata Jody.
"Papa tidak menerima alasan apapun. Kalian mau mempermalukan diri dua kali? Kalo soal basket, di sana juga ada,"
"Tapi, Pa, pesantren 'kan beda sama SMA," sanggah Wanda.
"Pokoknya keputusan Papa sudah tidak bisa diganggu gugat!" kata Papa lalu pergi meninggalkan anak-anaknya yang termenung penuh sesal.
Mereka berdua belum menyerah, malamnya, Wanda dan Jody sudah minta permohonan peninjauan kembali kesalahan mereka, tapi sampai mereka nangis-nangispun (awalnya pake bawang merah, tapi lama-lama beneran) Papa tetap kokoh bagai batu karang pada pendiriannya.

><><><><><

Jody menutup teleponnya. Ia baru saja berbicara dengan pelatih basketnya bahwa ia mengundurkan diri dan juga berbicara pada teman-temannya untuk kata-kata perpisahan disertai serentetan pesan dendam untuk Rino. Ia berbaring sambil menutup matanya, menahan kesal atas semua kejadian sial ini, rasanya dengan tinggal di pesantren semua cita-citanya sudah sirna. Hari ini Papa pergi ke sekolahnya untuk mengurus surat perpindahan, tidak tahu apakah Wanda ikut Papa atau tidak. Sebenarnya tadi ia juga diajak, tapi sangat malas untuk kembali melihat sekolahnya, teman-temannya, timnya, dan semua yang harus ditinggalkannya. Percuma ia datang ke sekolah untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, toh ia tetap akan pindah.
Ia membuka matanya. Siaaaaaaaal! Kenapa bukan ia saja yang minum teh itu? Rutuknya sambil memukul dinding kamarnya sekeras mungkin. Hal yang sedetik kemudian ia sesali. Ternyata sakit beneran! Keluh Jody sambil mengusap tangannya.

><><><><

Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Langkah Rino terhenti ketika melihat Wanda berpelukkan dengan beberapa temannya di depan sekolah, lalu masuk ke dalam mobil bersama Papanya dan pergi.
Dalam hatinya, Rino benar-benar tidak menyangka ulahnya akan berakibat sejauh ini. Sebenarnya waktu itu yang ia inginkan sangat sederhana, hanya untuk mengerjai Jody dengan obat pencuci perut yang tidak bereaksi langsung. Makanya waktu ia menawarkan teh itu ia berani meyakinkan Jody dengan mempertaruhkan dirinya.
Rino teringat kata-katanya ketika memberikan teh itu kepada Jody. Tepat ketika ia sedang merasa sangat kepedesan memakan hidangan di bagian konsumsi.
“Ini sebagai tanda maaf gue. Ambil aja, muka lo udah merah gitu. Pasti pedes banget kan?”
“Gak ah, pasti udah lo campur sama racun! Gue curiga kalo lo baik.”
“Ya ampun, Jo! Kalo setelah minum ini lo langsung kenapa-napa, gue bakal jadi babu lo selama setaun, deh!”
Setelah berpikir tiga detik, Jody pun mengambil gelas itu, (dan beruntungnya) belum sempat Jody meminumnya, Asti sudah merebut gelas itu untuk Kyai Farizi. Tiba-tiba ia melihat Jody dan keluarganya naik ke atas panggung dan terjadilah peristiwa yang benar-benar memalukan itu. Rino tersenyum sendiri, semuanya terjadi secara sangat kebetulan yang membawa keuntungan besar baginya. Sekarang ia sudah berhasil mengusir Jody yang menjadi penghalangnya selama ini dengan cara yang sama sekali ia tak pernah bayangkan. Masa bodoh dengan keluarganya yang jadi ikut menanggung malu ataupun Kyai itu yang jadi gagal ceramah secara penuh.
Ya, acara maulid di sekolahnya terbilang jadi berantakan lantaran sekitar satu jam setelah Kyai Farizi ceramah, ia tiba-tiba merasa sakit perut dan dengan cepat menyudahi ceramahnya yang terhenti di tengah jalan. Padahal di jadwal acara ia seharusnya tampil selama dua setengah jam. Para hadirin pun sempat protes, namun karena alasannya adalah sakit mendadak, mereka semua segera memahaminya. Tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Kyai yang mereka kagumi.
Rino tersenyum lagi, bersyukur bahwa hidupnya kini kian indah. Lalu meneruskan langkahnya untuk pulang.
“Hidup lo gak bakal sedamai yang lo kira, No!” mendengar suara itu otomatis Rino menoleh ke belakang. Berharap bukan suara dari orang yang ia kenal sebagai musuhnya.
“Lo pikir kalo Jody pergi hidup lo bakal tenang?” sindir Arya, ditemani Dirga di sampingnya. Rino tahu keduanya merupakan teman dekat Jody.
“Gara-gara lo dua orang udah pergi dari sini,” Dirga menatap Rino. “Jadi, gue rasa gak apa-apa dong, kalo ada dua orang juga yang ngasih lo pelajaran.“ lanjutnya sambil tersenyum sinis.
Raut cerah Rino segera berubah pucat. Seketika itu juga ia menyadari bahwa akibat dari kejahatan yang ia perbuat, tidak seharusnya disyukuri terlalu cepat.



Comments :

0 comments to “ El-WanJoGie: Chapter 1 _ bag.2 ”

Posting Komentar