Kamis, 27 Agustus 2009

El-WanJoGie: Chapter 1 _ bag.2

Wanda dan Jody berdiri di depan pintu kelas X4, masing-masing membawa sebuah karton untuk tanda tangan. Kesannya kayak yang mau kampanye OSIS.
"Are you ready?" Wanda menoleh ke Jody.
"Dari tadi juga gue udah ready! Ini kan kelas gue sendiri. Nyantai aja lagi, kayak yang mau minta sumbangan aja." jawab Jody nyantai.
"Emang kita mau minta sumbangan, kan?" Jody refleks menoleh gak ngerti. "Sumbangan tanda tangan." tambah Wanda.
"Hmh!" Jody mendengus garing. "Cepetan masuk!"

Mereka berduapun membuka pintunya dan masuk ke kelas. Ngeliat mereka berdua dengan karton di tangan, anak-anakpun langsung terdiam.
"Lo berdua mau kampanye OSIS?" tanya seorang cowok yang duduk di bangku depan yang langsung disambut dengan tawa anak-anak lainnya.
Diketawain kayak gitu jelas aja membuat mereka berdua gak enak. Wanda menyikut lengan Jody supaya bicara.
Akhirnya Jody menjelaskan sebab musabab kenapa mereka harus ngumpulin tanda tangan anak-anak X4. dan seperti yang sudah diduga sebelumnya, bukannya ngerasa kecewa, anak-anak malah berterima kasih udah diselamatin dari ulangan sejarah. Banyak komentar yang menyertai mereka dalam misi mengumpulkan tanda tangan.
"Kapan-kapan, lo kayak gini lagi, ya!"
"Gila, lo ngebohongin guru! Bener-bener kreatif."
"Tingkatkan, ya!"
"Gak professional, lo! Masa cuma gitu doang lo bisa ketahuan?"
"Membohongi seorang guru? Sungguh tidak berperikemuridan."
Semua anak di kelas itu sudah tanda tangan, Jody dan Wanda menghitung jumlah semuanya. Hanya 23, kurang satu. Sebenarnya jumlah siswa di kelas itu ada 25, tapi masa Jody harus ikut tanda tangan juga?
"Satu lagi siapa, nih yang belum?" tanya Jody pada semua anak di kelas.
"Kayaknya si Rino, deh. Tadi gue liat dia masih di toilet." jawab seorang cewek.
"Kok lo tau, sih? Itu kan toilet cowok?" tanya anak di belakangnya.
"kan tadi pas dia mau masuk toilet cowok, gue pura-pura gak sengaja nabrak dia," jawab cewek itu sambil tersipu malu.
"Huuuuu!" sorak anak-anak.
"Ya, udah, kita ke toilet cowok sekarang, yuk! Dari pada nunggu lama di kelas," ujar Wanda.
"Lo mau masuk ke toilet cowok, Wan?" tanya Jody gak percaya.
"Ya, enggaklah! Gue tunggu di luar." jawab Wanda cepat.
Mereka gak perlu ke toilet cowok, soalnya pas lagi jalan di koridor mereka ketemu Rino yang mau ke kelas.
"Hai, No!" sapa Jody. "Kita mau minta bantuan lo sedikiiit aja,"
"Bantuan apa?" tanya Rino cuek.
"Cuma tanda tangan aja, kok. Di karton gue dan Jody," jawab Wanda.
"Males, ah! Gue gak mau bantuin lo berdua." Rino beranjak pergi.
"Eh, tunggu dulu!" Wanda menghalangi jalan Rino.
"Kok lo gitu, sih? Kita cuma mau minta dua tanda tangan lo doang, abis itu kita pergi." Kata Jody kesal. Ni anak belagu banget, sih! Pikirnya.
Wanda berusaha sabar, "Iya, lagian kita minta tanda tangan ini karena…"
"Gak usah diceritain, gue udah tau, kok!" potong Rino keceplosan.
"Lho? Tadi lo kan gak ada di kelas? Lo tau dari mana?" tanya Wanda.
"Ya, gue taulah," gue udah terlanjur ngomong, sekalian aja biar mereka tau semuanya. Toh, mereka juga gak bisa berbuat apa-apa sama gue, pikir Rino. "Dari guru yang kalian tipu." jawab Rino super jutek.
"Pak Taryana? Kok dia bisa cerita sama lo?" tanya Jody gak ngerti, begitu juga Wanda.
"Gue gak sengaja ketemu sama dia di rumah sakit," jawab Rino. Jody baru ingat, hari itu kan Rino gak masuk sekolah gara-gara sakit. "Pas dia nyadar kalo dia ditipu sama lo berdua, dia nanya nomor penelepon gelap yang ada di hpnya. Kebetulan aja di hp gue ada nomor yang sama, dan itu nomor lo, Jo." Kata Rino sambil tersenyum sinis.
"Dan.." Rino menoleh ke Wanda, "Pak Taryana bilang kalo yang ngomong itu suara cewek. Siapa lagi kalo bukan lo, Wan?" Rino memandang remeh Wanda yang menahan kekesalannya.
"Jadi yang ngasih tau Pak Taryana itu lo?" tanya Jody marah.
"Ya, iyalah. Gue gitu, lho!" jawab Rino bangga.
"Kenapa, No? Apa lo kecewa ulangan sejarahnya dibatalin" tanya Wanda kesal.
"Tentu aja bukan itu alasan gue, gue malah seneng gak jadi ulangan. Gue cuma mau balas dendam sama kalian," jawab Rino.
"Balas dendam apa?"tanya Wanda heran, perasaan selama ini dia jadi anak baik, deh.
"Lo berdua masih inget pas pemilihan pemain inti di tim basket? Gara-gara kalian gue gak kepilih!" jawab Rino kesal.
"Itu kan emang karena lo kalah sama gue, gue kan yang berhasil nyetak poin duluan?" kata Jody.
"Harusnya gue yang nyetak poin duluan. Dan lo harus inget, gue gak pernah kalah sama lo!" jawab Rino berapi-api.
"Tapi kenapa, No?" Wanda masih gak ngerti.
"Kenapa? Lo mau ngebela sodara kembar lo yang gak berguna ini?" ejek Rino. Jody menoleh ke Wanda, gak nyangka kembarannya bakal ngebela dia.
"Enggak, silahkan aja lo mau ngelaporin Jody. Tapi kenapa lo bawa-bawa gue? kan yang buat lo kalah cuman si Jody?" tanya Wanda.
Gubrak! Gue kira lo mau ngebelain gue, Wan! Umpat Jody dalam hati.
"Gue kalah juga karena lo, blitz kamera lo kena mata gue dan itu ngebuat dunk jadi gagal!"
Wanda terperangah kaget. Gak nyangka kalo Rino gagal waktu itu gara-gara blitz kameranya.
"Harusnya gue yang nyetak poin duluan dan gue yang jadi pemain inti. Bukan looser kayak dia," Rino menunjuk Jody.
"Enak aja lo bilang gue looser! Gue juga punya kemampuan dan pantes jadi pemain inti!" kata Jody marah.
Jody dan Rino hampir berantem kalo gak dipisahn Wanda dan anak-anak lain yang kebetulan lewat. karena gak mau dibawa ke kantor BP, mereka akhirnya dibawa ke kelas untuk diadili sama anak-anak.
Tadinya Rino mau cerita tentang alasannya berantem sama Jody. Tapi keburu dipotong sama Jody, dia bilang kalo Rino gak mau tanda tangan karena dia cinta banget sama sejarah dan mengusulkan supaya ulangan sejarah lebih sering diadakan. Jelas aja Rino dimarahin sama anak sekelas dan itu membuat Rino gak punya kesempatan buat ngejelasin alasan dia yang sebenarnya. Jadi, walaupun kepaksa, dia mau juga tanda tangan.
Fiuh! Akhirnya selesai juga tugas mereka. Dua-duanya udah jadi, tinggal dikasihin aja ke Pak Taryana.

><><><><

"Oh, sudah selesai?" Tanya Pak Taryana ketika Wanda dan Jody menyerahkan kedua tugasnya di ruang guru. "Bagus juga, kalian bisa tepat waktu."
Pak Taryana memeriksa tanda tangannya lebih dulu, Wanda bisa menangkap ekspresi gurunya yang berubah saat melihat tanda tangan Rino, namun cepat-cepat ekspresinya berubah menjadi biasa lagi. Mungkin Pak Taryana pikir Rino gak bakal tanda tangan, pikir Wanda.
"Jadi, kita udah gak ada tugas apa-apa lagi kan, Pak?" tanya Jody.
"Ya, kalian boleh pergi sekarang." jawab Pak Taryana, ada sedikit nada terpaksa dalam suaranya.
"Terima kasih, Pak!" kata Wanda dan Jody serempak lalu pergi.
"Si Rino gimana, sih? Katanya gak bakal tanda tangan," gumamnya sambil memeriksa kumpulan tanda tangan itu. "Kalo gini kan saya gak bisa ngasih tugas lagi sama mereka."
Guru itupun beralih memeriksa makalahnya. Begitu memeriksanya, ia langsung tersentak. "Ini kan…" ia terus memeriksa makalah itu sampai halaman terakhir.
Karma! Pikirnya. Walaupun sudah diringkas, tetap saja ia tahu itu adalah skripsi seorang mahasiswa jurusan sejarah. Skripsi yang sama dengan yang ia salin untuk mendapatkan gelar sarjananya.
Ia menggenggam tangannya keras-keras, giginya terkatup rapat. Bisa saja ia memanggil kembali kedua anak itu karena ia tahu makalahnya hasil merangkum skripsi. Tapi ia mengurungkan niatnya, takut karmanya melebar.

><><><><

"Wanda makan malamnya udah siap, tuh!" kata Jody sambil menggedor pintu kamar Wanda.
"Iya, gak usah digedor, gue gak budeg!" kata Wanda kesal. Ia pun pergi ke meja makan dan bergabung dengan keluarganya.
"Gimana sekolah kalian?" tanya Papa membuka pembicaraan.
Wanda dan Jody saling berpandangan. Komunikasi lewat mata saja sudah cukup bagi mereka untuk mencapai satu kesepakatan. Gak bakal ngasih tahu orang tua mereka tentang masalah dengan Pak Taryana ataupun Rino. Lagian, semuanya kan udah selesai.
"Fine." jawab Wanda pendek.
"Ya, semuanya baik-baik aja," tambah Jody.
Suasana kembali sepi, semua orang fokus dengan makan malamnya masing-masing. "O, ya, Papa denger…"
Deg! Wanda dan Jody langsung berhenti makan, jangan-jangan Papa udah tahu kalo…
"…Sekolah kalian mau ngadain acara Maulid Nabi, ya?" Tanya Papa.
Fiuh, kirain! Batin Wanda dan Jody lega.
“Iya, di sekolah juga beritanya lagi rame, sampe disebarin pake pamphlet segala.” Kata Jody.
“Kenapa sih kesannya rame banget? tahun kemaren juga ada acara idul qurban di sekolah biasa aja,” tanya Wanda.
“Ya jangan disamain sama qurban lah! Maulid memang penting, apalagi yang dateng Kyai Farizi.”
“Kok Papa tahu yang dateng Kyai Farizi?” tanya Wanda.
“Lah kalo orang terkenal gitu pasti beritanya cepet nyebar. Orang temen-temen kantor Papa juga banyak yang ngomongin,”
“Emang Kyai itu terkenal?” tanya Jody polos.
“Ya ampun Jody, kamu gak pernah denger tentang Kyai Farizi?” tanya Mama kaget, ternyata anaknya begitu kuper.
"Masa gak tau?! Makanya jangan cuma merhatiin basket aja," kata Papa. "Kamu juga Wanda, jangan-jangan kamu juga gak tahu siapa Kyai Al-Farizi?" tambahnya.
"Ya, cuma pernah denger aja, sih," jawab Wanda.
"Nah, yang ini mendingan. Walaupun gak tahu, seenggaknya kamu pernah denger tantang beliau," kata Papa.
"Emangnya lo pernah denger di mana, Wan?" Tanya Jody, gak rela disebut lebih kuper dari Wanda.
"Barusan kan Papa sendiri yang ngomong?" jawab Wanda polos.
Gubrak! "Ah, kalian berdua sama aja, sama-sama kuper!" kata Papa sebel.
"Ya, udah. Jadi siapa sih Kyai Al-Farizi?" tanya Wanda gak sabar.
"Jadi, beliau itu Kyai yang paling top sekarang di kalangan rakyat, soalnya beliau berhasil membujug presiden untuk menunda kenaikan harga sembako dan BBM sampe presiden itu habis masa jabatannya," jelas Papa.
"Kyai Al-Farizi juga punya pesantren yang standarnya sudah diakui lho." tambah Mama. "Terus coba nanti kalian dengerin ceramahnya, bener-bener menyejukkan jiwa." Kata Mama sambil mengelus dadanya.
"Ya, pasti kita diwajibin dengerin ceramahnya sama guru-guru." kata Jody lalu menoleh ke Wanda. Wanda hanya mengangguk. Gak ada pilihan lain, pikirnya.

><><><><

Benar kata Papa, minggu depan sekolah memang mau mengadakan acara maulid nabi dengan Kyai Al-Farizi sebagai penceramahnya. Pengumumannya sudah ada di mana-mana, dari poster besar di mading sampe guru-guru setiap mata pelajaran pasti memulai pelajarannya dengan pengumuman tentang acara maulid dulu, sampe anak-anak bosen dengernya.
Sekarang jam terakhir, waktunya Bu Yanti untuk mengajar biologi. Gak beda sama guru-guru lainnya hari ini, Bu Yantipun mengawali pelajarannya dengan…
"Anak-anak, kalian tahu gak kalo minggu depan…"
"Acara maulid nabi dengan penceramah Kyai Al-Fariziiii!" potong anak-anak serempak.
"Oh, ya, sudah kalau begitu. Kita langsung saja melanjutkan pelajaran kemarin," kata Bu Yanti menghilangkan rasa malunya. Kirain belum pada tahu, umpatnya dalam hati.

><><><><

Minggu depanpun tiba, para murid dan guru terlihat mendadak sufi dengan baju koko dan pakaian muslimah. Berhubung acara ini bebas untuk semua orang, maka acaranya diadakan di aula sekolah agar bisa menampung semuanya.
Karena bosan, di tengah acara Wanda dan Jody menyusup ke balik panggung untuk melihat-lihat (bukan membantu).
"Wan, gue ke mau ke bagian konsumsi dulu, ya! Pokoknya kita balik lagi kalo Kyainya udah dateng, oke!" kata Jody lalu pergi.
Jody pasti mau ngantongin makanan, pantes aja tadi di rumah dia pengen pake baju koko yang ada sakunya, batin Wanda.
Wanda akhirnya jalan-jalan sendirian di belakang panggung, menonton orang-orang yang sibuk mempersiapkan acara. Sebenarnya, sih dia mau ikut membantu, tapi begitu dia mendekat, orang-orang yang lagi sibuk bekerja itu malah mengusirnya. Takut jadi berantakan, pikir orang-orang itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke sebuah ruangan kecil yang ada di sudut ruangan. Ketika ia baru sedikit membuka pintunya, ternyata ada orang di dalam. Eh, itu kan Rino? Dia lagi ngapain? Tanya Wanda dalam hati. Mencurigakan! Pikirnya, ia pun terus mengintip Rino dari balik pintu.
Rino sedang membuat secangkir teh lalu dia mengambil sesuatu dari sakunya. Wanda memicingkan matanya, semakin meneliti apa yang dilakukan Rino. Ternyata Rino mengambil sebuah bungkusan yang berisi bubuk putih lalu mencampurnya dengan teh itu.
Rino mau keluar dari ruangan itu, Wanda cepat-cepat bersembunyi. Ia tetap mengikutinya dari belakang. Dari kejauhan ia melihat Rino memberikan teh itu pada Jody dan Jody menerimanya!
Gawat! Jangan sampe Jody minum teh itu, pikirnya. Saking tergesa-gesanya Wanda gak nyadar kalo kakinya kesangkut kabel dan iapun terjatuh.
Gak peduli sama orang-orang yang menatapnya kasihan (atau tertawa?) Wanda tetap menghampiri Jody. Ternyata teh itu udah gak ada di tangan Jody.
"Jo, teh yang dari si Rino mana?" tanya Wanda khawatir.
"Kok lo tahu sih gue dapet teh dari dia?" Jody balik nanya. Wandapun buru-buru menceritakan tentang bubuk putih itu.
"Wah, gawat! Tehnya udah gue kasih ke Asti. Katanya persediaan minuman abis, jadi teh itu yang bakal disediain buat Kyai Al-Farizi," Jody ikut panik.
"Nah, itu Asti!" Wanda menunjuk seorang anak yang lagi berdiri di belakang panggung. "Ayo kita tanyain, kali aja tehnya belum dikasih!" mereka berduapun segera menghampiri Asti.
"Ti, teh yang dari gue mana?" tanya Jody.
"Tuh! Udah dikasihin ke Kyainya." Asti menunjuk segelas teh yang ada di meja seorang bapak paruh baya yang memakai baju koko yang dibalut dengan jas. Jadi itu Kyai Al-Farizi? Ternyata beliau udah dateng, dan sedang bersiap-siap mau ceramah.
"Aduh, gimana, dong?" tanya Jody bingung.
"Kita ke panggung sama Papa aja, orang-orang pasti percaya." Kata Wanda.
"Bener juga, lo!" kata Jody. Mereka berdua segera kembali ke tempat penonton mencari Papa. Begitu ketemu, Wanda cepat-cepat menjelaskan semuanya. Papa jadi ikutan panik. Akhirnya mereka bertiga naik ke atas panggung tepat saat Kyai Al-Farizi sudah meminumnya.
"Jangan diminum, Pak Kyai!" seru Papa.
Seluruh aula terdiam. Mereka bertiga mendadak jadi pusat perhatian. Kyai Al-Farizi meletakan gelasnya.
"Ada apa?" tanya Kyai itu.
"Di dalam teh itu ada racunnya!" kata Wanda.
"Iya, Pak!" timpal Jody.
"Masya Allah! Saya sudah meminumnya," kata Kyai itu kaget.
Semuanya terdiam. Terkejut. Dan menunggu dengan gelisah hal apa yang akan menimpa Kyai Farizi selanjutnya.
Sudah lima menit berlalu, tapi tidak terjadi apa-apa.
"Lho, kok gak terjadi apa-apa? Katanya beracun?" tanya Rino yang tiba-tiba muncul dari belakang panggung.
"Eh?" Wanda, Jody dan Papa saling berpandangan.
"Eh, mmm, sebenernya…" kata Papa salah tingkah menahan malu. Pasti tadi Wanda salah liat! Batinnya kesal. "Ini anak-anak saya hanya terlalu kagum sama Pak Kyai, sehingga ingin mencari perhatian Bapak. Sebenarnya mereka berdua ini, ingin mesantren di pesantren yang Bapak pimpin." Papa menoleh ke Wanda dan Jody dengan pandangan, awas-kalo-enggak! "Iya, kan anak-anak?"
"Mmm, eh, iya," Wanda menyikut Jody.
"Iya, iya, Pak. Saya benar-benar kagum sama Bapak." Kata Jody dengan senyum kepaksa.
"Oh, boleh saja jika kalian ingin mesantren di pesantren saya." jawab Kyai itu berwibawa.
Sumpah, di detik itu juga satu keluarga itu bener-baner ngerasain yang namanya Malu Berat!

><><><><

"Kalian benar-benar membuat malu Papa!" bentak Papa.
Wanda dan Jody hanya bisa diam, tertunduk menatap karpet ruang tamu.
"Tapi niat kita kan baik, Pa! Mana kita tahu kalo jadinya bakal malu-maluin," kata Wanda membela diri. Wanda meremas tangannya. Masih segar dalam ingatannya ketika Rino tertawa terbahak-bahak di atas panggung. Benar-benar sial! Ternyata Rino sebenarnya ingin memberikan minuman itu kepada Jody. Minuman yang, Wanda ketahui belakangan dari temannya yang anggota bagian kesehatan sekolah, dicampur dengan obat pencuci perut yang reaksinya tidak dapat dirasakan secara langsung, namun bereaksi satu jam kemudian setelah meminumnya. Pantas saja setelah lima menit Kyai Farizi meminumnya ia tetap merasa baik-baik saja.
Wanda dan Jody juga sebenarnya sudah menceritakan kronologis kejadiannya dan menyebut Rino sebagai dalang dari semua ini. Tetapi tetap tidak meredakan kemarahan Papa, baginya, rasa malu tidak bisa ditarik kembali. Sungguh peristiwa paling konyol dan bodoh yang ia pernah alami selama hidupnya.
"Pa, tapi kita ga' bener-bener bakal pesantren 'kan Pa?" tanya Jody penuh harap.
"Iya, Pa. banyak hal yang ga' bisa aku tinggalin di sini," timpal Wanda.
Keduanya menatap Papa dengan penuh harap. Di sisi lain, Papa merasa tidak ada jalan lain lagi, ia tahu kedua anaknya tidak bersalah, malah mau berniat baik. Namun semuanya sudah terlanjur terucap, di depan ratusan orang ia telah mengatakan akan menyekolahkan anak-anaknya di pesantren Kyai Farizi. Ia menghela nafas. Dikeluarkannya kartu nama Kyai Farizi dari sakunya, menimbang apakah ia akan menelepon Kyai itu malam ini untuk membicarakan perpindahan anak-anaknya.
“Kita tidak bisa mundur dari apa yang telah kita ucapkan, kalian tahu itu kan?” Papa menatap Wanda dan Jody. "Mau tidak mau, kalian harus pindah sekolah dan pesantren di sana." lanjutnya.
"Apa, Pa?!" Wanda dan Jody terlonjak kaget.
"Jadi, Papa serius?" tanya Wanda ga' percaya.
"Ya, Papa akan minta surat keterangan pindah sekolah besok," jawab Papa.
"Tapi, Pa, ini sama sekali ga' adil. Aku baru aja diterima jadi pemain inti di tim basket," kata Jody.
"Papa tidak menerima alasan apapun. Kalian mau mempermalukan diri dua kali? Kalo soal basket, di sana juga ada,"
"Tapi, Pa, pesantren 'kan beda sama SMA," sanggah Wanda.
"Pokoknya keputusan Papa sudah tidak bisa diganggu gugat!" kata Papa lalu pergi meninggalkan anak-anaknya yang termenung penuh sesal.
Mereka berdua belum menyerah, malamnya, Wanda dan Jody sudah minta permohonan peninjauan kembali kesalahan mereka, tapi sampai mereka nangis-nangispun (awalnya pake bawang merah, tapi lama-lama beneran) Papa tetap kokoh bagai batu karang pada pendiriannya.

><><><><><

Jody menutup teleponnya. Ia baru saja berbicara dengan pelatih basketnya bahwa ia mengundurkan diri dan juga berbicara pada teman-temannya untuk kata-kata perpisahan disertai serentetan pesan dendam untuk Rino. Ia berbaring sambil menutup matanya, menahan kesal atas semua kejadian sial ini, rasanya dengan tinggal di pesantren semua cita-citanya sudah sirna. Hari ini Papa pergi ke sekolahnya untuk mengurus surat perpindahan, tidak tahu apakah Wanda ikut Papa atau tidak. Sebenarnya tadi ia juga diajak, tapi sangat malas untuk kembali melihat sekolahnya, teman-temannya, timnya, dan semua yang harus ditinggalkannya. Percuma ia datang ke sekolah untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, toh ia tetap akan pindah.
Ia membuka matanya. Siaaaaaaaal! Kenapa bukan ia saja yang minum teh itu? Rutuknya sambil memukul dinding kamarnya sekeras mungkin. Hal yang sedetik kemudian ia sesali. Ternyata sakit beneran! Keluh Jody sambil mengusap tangannya.

><><><><

Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Langkah Rino terhenti ketika melihat Wanda berpelukkan dengan beberapa temannya di depan sekolah, lalu masuk ke dalam mobil bersama Papanya dan pergi.
Dalam hatinya, Rino benar-benar tidak menyangka ulahnya akan berakibat sejauh ini. Sebenarnya waktu itu yang ia inginkan sangat sederhana, hanya untuk mengerjai Jody dengan obat pencuci perut yang tidak bereaksi langsung. Makanya waktu ia menawarkan teh itu ia berani meyakinkan Jody dengan mempertaruhkan dirinya.
Rino teringat kata-katanya ketika memberikan teh itu kepada Jody. Tepat ketika ia sedang merasa sangat kepedesan memakan hidangan di bagian konsumsi.
“Ini sebagai tanda maaf gue. Ambil aja, muka lo udah merah gitu. Pasti pedes banget kan?”
“Gak ah, pasti udah lo campur sama racun! Gue curiga kalo lo baik.”
“Ya ampun, Jo! Kalo setelah minum ini lo langsung kenapa-napa, gue bakal jadi babu lo selama setaun, deh!”
Setelah berpikir tiga detik, Jody pun mengambil gelas itu, (dan beruntungnya) belum sempat Jody meminumnya, Asti sudah merebut gelas itu untuk Kyai Farizi. Tiba-tiba ia melihat Jody dan keluarganya naik ke atas panggung dan terjadilah peristiwa yang benar-benar memalukan itu. Rino tersenyum sendiri, semuanya terjadi secara sangat kebetulan yang membawa keuntungan besar baginya. Sekarang ia sudah berhasil mengusir Jody yang menjadi penghalangnya selama ini dengan cara yang sama sekali ia tak pernah bayangkan. Masa bodoh dengan keluarganya yang jadi ikut menanggung malu ataupun Kyai itu yang jadi gagal ceramah secara penuh.
Ya, acara maulid di sekolahnya terbilang jadi berantakan lantaran sekitar satu jam setelah Kyai Farizi ceramah, ia tiba-tiba merasa sakit perut dan dengan cepat menyudahi ceramahnya yang terhenti di tengah jalan. Padahal di jadwal acara ia seharusnya tampil selama dua setengah jam. Para hadirin pun sempat protes, namun karena alasannya adalah sakit mendadak, mereka semua segera memahaminya. Tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Kyai yang mereka kagumi.
Rino tersenyum lagi, bersyukur bahwa hidupnya kini kian indah. Lalu meneruskan langkahnya untuk pulang.
“Hidup lo gak bakal sedamai yang lo kira, No!” mendengar suara itu otomatis Rino menoleh ke belakang. Berharap bukan suara dari orang yang ia kenal sebagai musuhnya.
“Lo pikir kalo Jody pergi hidup lo bakal tenang?” sindir Arya, ditemani Dirga di sampingnya. Rino tahu keduanya merupakan teman dekat Jody.
“Gara-gara lo dua orang udah pergi dari sini,” Dirga menatap Rino. “Jadi, gue rasa gak apa-apa dong, kalo ada dua orang juga yang ngasih lo pelajaran.“ lanjutnya sambil tersenyum sinis.
Raut cerah Rino segera berubah pucat. Seketika itu juga ia menyadari bahwa akibat dari kejahatan yang ia perbuat, tidak seharusnya disyukuri terlalu cepat.



Read more...

Rabu, 26 Agustus 2009

El-WanJoGie: Chapter 1

Cerita lain lagi,, bukan cerita sambungan dari postingan manapun,,
Here it is... (totally fiction!)

“Ranty Andriani,”
“Hadir, Bu!”
Seperti biasa Bu Sinta mengabsen murid-muridnya di tengah kelas geografinya, cukup aneh memang karena biasanya pengabsenan dilakukan di awal atau di akhir jam pelajaran. Tapi ketika ditanya, guru itu menjawab hal ini dilakukan untuk refreshing, menghilangkan kantuk, dan mengembalikan para murid dari dunia khayalnya lantaran tidak memperhatikan pelajaran.
Sebenarnya argumen paling kuat yang pernah dikeluarkan oleh seorang murid untuk mengkritik pengabsenan itu adalah, “Bukannya pengabsenan di tengah pelajaran malah memecah konsentrasi belajar, Bu?”
“Oh, saya malah berharap yang kamu katakan itu benar. Tapi mungkin kamu memang benar, baiklah, mulai besok pengabsenan akan ada di awal, dan akan saya tutup dengan pertanyaan untuk para siswa yang pastinya sudah berkonsentrasi sejak awal.”
Takut ditanya, terang saja satu kelas itu langsung memuji-muji pengabsenan di tengah pelajaran. “Sungguh cara yang elegan untuk mengembalikan saya ke dunia nyata!” puji seorang murid.
Dan dengan cepat percakapan singkat itu menyebar ke seluruh murid di empat kelas yang dipegangnya. Membuat mereka semua mendukung sepenuh hati cara Bu Sinta.



Pengabsenan masih berlanjut, “Rino Rahardian,”
“Sakit.” Jawab seorang murid yang bukan bernama Rino.
Di sudut kanan kelas, seorang murid malah mengajak teman disampingnya mengobrol. “Eh, Jo, lo udah nyiapin apa aja buat ulangan sejarah nanti?”
“Hah?! Emang sekarang ada ulangan sejarah?” tanya temannya yang bernama Jody kaget.
“Lo lupa....” obrolannya berhenti.
“Yaser Abdul!” Bu Sinta memotong pembicaraan mereka.
“Eh, hadir, Bu!” jawab Yaser setengah kaget.
Mereka berdua tidak meneruskan obrolannya lagi, pandangan mata Bu Sinta sudah cukup untuk mereka diam.
Dalam hati Jody merutuk dirinya sendiri, baru ingat bahwa minggu kemarin Pak Taryana, guru sejarahnya, mengumumkan ada ulangan pada pertemuan berikutnya. Berarti hari ini, sehabis istirahat.
“Sial, nilai gue bisa ancur, ni!” batinnya. Sebenarnya Jody sama sekali bukan anak yang ambisius dalam meraih nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Gak peduli malah! Namun masalahnya menjadi lain ketika ia lolos menjadi anggota di tim inti basket sekolah.
Peraturan di sekolah ini mensyaratkan pada semua murid yang mau mewakili sekolahnya dalam bidang apapun, termasuk pertandingan basket tentunya, semua nilai pelajaran non-eksaknya minimal 7. Sekolah tetap berprinsip bahwa tugas utamanya adalah mencetak siswa cerdas dan berprestasi.
“Emangnya hebat dalam olah raga bukan prestasi?” batinnya kesal. Ia juga teringat dengan nilai 5-nya pada ulangan sejarah sebelumnya. Gue harus cari cara supaya ulangannya gak jadi, gue gak bisa ulangan mendadak kayak gini, apalagi sejarah, pikirnya.
Jody berpikir keras untuk menemukan cara untuk membatalkan ulangannya. Sampai pelajaran berakhir dan bel tanda istirahat berbunyi pun ia memang belum menemukan caranya. Tapi ia tahu di mana ia bisa mendapatkan ide kreatif.
><><><><

Wanda melirik jam tangan QnQ birunya, sudah sepuluh menit ia menunggu di kantin sekolah. Ia membaca kembali pesan masuk di ponselnya, 5 menit lagi kita ketemu di kantin. Jangan pura2 sakit perut, ada masalah penting. Menyangkut masa depan gw!
Tumben Jody sms kayak gini segala, pikirnya. Hmh, berarti alasan sakit perut udah harus gue ganti. Wanda memang rada malas kalau Jody minta ketemuan di sekolah, pasti ada yang gak beres atau dia mau minta bantuan untuk ide konyolnya. Terakhir Jody minta dukungan Wanda dan teman-temannya untuk membujug kepala sekolah agar membolehkan tukang bakso berdagang di dalam kelas. Wanda bersyukur ide itu tidak pernah sampai ke telinga para petinggi sekolah ini.
"Halo, Wan!" sapa Jody yang langsung duduk di depan Wanda.
"Lama banget, sih!" sambut Wanda.
“Sorry, tadi tuh rame banget di depan mading, gue kira ada acara apaan, eh gak taunya cuman pengumuman acara maulid di sekolah minggu depan. Ni gue dikasih pamflet-nya,” Jody menunjukkan selebaran yang dibawanya.
“Tumben banget pake nyebar pamflet segala,” kata Wanda heran.
“Iya, soalnya katanya yang dateng Kyai siapa gitu, gue lupa namanya. Pokoknya terkenal, deh,”
Wanda hanya manggut-manggut sambil membaca selebaran itu. tertulis penceramah di acara maulid itu bernama Kyai Zainal Al Farizi, Wanda juga tidak begitu mengenalnya.
“Anyway, alasan gue buat nemuin lo itu sebenernya…” Jody mengalihkan pembicaraan. Wanda memandang ekspresi Jody yang sedang tersenyum padanya, hmh, pasti mau minta bantuan, keluhnya dalam hati. Ia sudah sangat mengenal ekspresi itu.
"Udah gak usah senyam-senyum segala, jelek tau! Lo mau gue bantuin apaan?" tanya Wanda sebal.
Senyum Jody melebar, "Mmm, Wan, nanti kan abis istirahat gue ada ulangan sejarah, tapi gue sama sekali belum belajar,"
"Terus, apa hubungannya sama gue? Itu salah lo sendiri, dong!" kata Wanda cuek. Jody kapan, sih belajarnya? tambahnya dalam hati seakan dia sendiri sering belajar.
"Gue pengen, ulangannya gak jadi tapi gue gak tau caranya gimana, lo ada ide gak?" Tanya Jody penuh harap.
"Ya jujur aja. Lo minta ke gurunya supaya ulangannya dibatalin karena lo belum belajar."
"Wanda, kalo kayak gitu tanpa harus nanya sama lo gue juga bisa. Tapi yang ada gue malah diceramahin sama tuh guru, gue mau pake cara halus,"
"Makanya belajar!"
"Please, Wan! lo tahu kan akibatnya kalo gue sampe dapet nilai jelek, Lagian lo kan sodara kembar gue, jadi kita harus saling tolong menolong."
Ya, mereka memang saudara kembar, suatu takdir yang kadang-kadang disesali Wanda, terutama pada saat seperti ini. Tapi mau gak mau Wanda harus membantunya, karena sebenarnya ia tidak pernah tega untuk menolak. Meski kembar karakter mereka berbeda, Wanda yang lebih girly (ya iyalah emang dia cewek) kalem, cerdas namun paling anti untuk jadi pusat perhatian berbanding terbalik dengan Jody yang belajar hanya untuk bisa masuk tim inti klub basket, dan hasratnya yang besar untuk menjadi cowok terkeren 2011. Mending gue ikut mewujudkan Indonesia sehat 2010, deh! Cibir Wanda ketika mendengar impian Jody.
“Emang guru sejarah lo siapa, sih?” tanya Wanda.
“Pak Taryana.” Jawab Jody.
“Hah? Dia kan wali kelas gue, bisa gawat kalo ketahuan!”
“Yah, nyantai aja. ini kan buat ulangan kelas gue, bukan kelas lo. Jadi kalo ketahuan pun pasti gue yang kena. Ya, kan?” kata Jody meyakinkan.
Wanda berpikir sejenak, menimbang apakah wartawan akan mengejarnya jika di balik nama baiknya selama ini (padahal gak baik-baik amat), ternyata ia membantu menggagalkan ulangan yang diadakan wali kelasnya sendiri.
“Udah terlanjur, gue lanjutin aja,” kata Wanda pasrah.
“Jadi gimana caranya?”
Wanda membaca kembali selebaran yang dibawa Jody, “Ayo ikut gue ke belakang sekolah,” katanya sambil beranjak pergi.
“Hah, ngapain, Wan? Disitu kan sepi banget,” Tanya Jody sambil mengikuti langkah Wanda.
“Justru karena sepi,”
“Wanda, lo masih inget kan kalo kita sodara,”
“That’s why I help you, lo pikir kita ke sana mau ngapain?” Wanda merasa Jody menuduhnya punya rencana jahat, padahal kan rencananya cuma licik aja.
Mereka telah sampai ke belakang sekolah, Wanda memang sengaja mencari tempat yang paling sepi agar rencananya tidak ketahuan. Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain selain mereka di tempat itu, Wanda membuka kembali selebaran acara Maulid yang dibawanya.
“So?” Jody semakin tidak mengerti.
“Liat deh siapa contact person-nya,” Wanda menunjukkan selebarannya pada Jody.
Jody baru menyadari sesuatu, “Pak Taryana?”
Wanda mengangguk sambil tersenyum. “Pinjem hp lo,” kata Wanda.
Meski masih bingung, Jody pun menyerahkannya. “Lo mau telepon dia?”
Tanpa mempedulikan pertanyaan Jody, Wanda segera memencet nomor yang tertera pada biodata itu. "Halo," kata Wanda dengan suara seperti wanita dewasa. "Apa ini dengan Bapak Taryana?...Iya, saya ingin memberitahu bahwa Anda diminta segera ke Rumah Sakit Bhakti Yuda sekarang juga…Saya juga kurang tahu apa yang terjadi, tapi ini sangat mendesak, Pak…Iya, iya sama-sama, Pak!" Wanda menutup ponselnya lalu mengembalikannya pada Jody yang sedang tersenyum menatapnya.
Jody langsung mengerti trik kembarannya. "Jadi begitu? Gak sia-sia lo jadi sodara gue, lo emang smart banget."

><><><><

Malang tak dapat ditolak meskipun sudah meminum jamu Tolak Sial. Ternyata semuanya gak semulus yang mereka duga. Gak tau dari mana sumbernya, dua hari kemudian pas waktu istirahat mereka dipanggil sama Pak Taryana di ruang guru.
"Kalian bingung kan kenapa kalian bisa ketahuan?" tanya Pak Taryana membuka pembicaraan sambil memasang senyum kemenangan.
Wanda dan Jody saling berpandangan, dari ekspresi mereka jelas banget kalo mereka kebingungan. How come? Semua ini cuma dia dan Jody yang tau, dan Wanda yakin banget kalo waktu itu di belakang sekolah lagi sepi. Jadi gak mungkin ada yang mendengar pembicaraannya sama Pak Taryana.
"Baiklah, Bapak tidak akan memberikan ceramah panjang lebar karena Bapak yakin tidak akan didengarkan,"
Wanda dan Jody langsung tertunduk. Merasa tersindir.
"Jujur saja, sebenarnya Bapak merasa bingung memberi hukuman apa pada kalian,"
Kalian? Kok gue kena juga, sih? Ini semua kan gara-gara si Jody. Kalo gue sih cuman sebagai peran pembantu doang, keluh Wanda dalam hati.
"Masalahnya, ulah kalian telah menipu seorang guru, dalam kasus ini malangnya Bapak sendiri. Selain itu juga menyebabkan semua anak sekelas kamu tidak jadi ulangan, Jody. Bapak sungguh tidak tega membayangkan anak-anak sekelas kamu yang sudah susah payah belajar sejarah, tetapi disaat waktunya ulangan, malah batal. Mereka pasti sedih sekali." Pak Taryana mengusap wajahnya dengan prihatin.
Jody hampir tertawa mendengar kalimat terakhir gurunya. Sedih sekali? Sama sekali tidak! Dia masih inget banget ekspresi wajah teman-teman sekelasnya ketika pengumuman ulangan sejarah gak jadi karena Pak Taryana ada urusan mendadak. Semuanya mengucap puji syukur Alhamdulillah.
"Sebenarnya Bapak juga tidak menyangka kamu terlibat, Wanda. Sebagai wali kelas, kamu cukup baik di mata Bapak."
Wanda hanya bisa tertunduk malu, reputasi, harga diri, nama baik, harkat derajat dan martabatnya sudah hancur di mata wali kelasnya sendiri. "Setelah Bapak pikir-pikir, pertama-tama Jody harus minta maaf dulu pada teman-teman sekelasnya karena sudah membuat mereka kecewa, sebagai buktinya kamu harus mengumpulkan tanda tangan mereka. Dan tentu saja kalian juga harus minta maaf pada Bapak,"
"Maafkan saya, Pak!" kata Wanda dan Jody bersamaan.
"Eh, Iya, iya, saya maafkan." Kata Pak Taryana kaget, gak nyangka kalo mereka bakal langsung minta maaf.
"Oh, kalau begitu kami permisi dulu, Pak! Waktu istirahat udah abis. Jam pelajaran mau dimulai." kata Jody sambil berdiri.
"Iya, Pak, saya juga." Wanda ikutan berdiri.
"Eh, eh, mau ke mana kalian?" Tanya Pak Taryana bingung.
"Bukannya udah selesai? kan kami udah minta maaf?" tanya Wanda dengan wajah innocent-nya.
"Iya, Pak. Saya juga bakal minta maaf juga, kok ke temen sekelas." timpal Jody.
"Enak saja kalian!" Suaranya meninggi menahan amarah, percuma saja sikap berwibawa yang ia usahakan dari tadi. Anak-anak ini memang katerlaluan, pikirnya. "Duduk!".
Wanda dan Jody kembali duduk dengan takut. "Iya, Pak. Tenang!" Jody berusaha meredakan emosi gurunya.
"Kalian pikir dengan minta maaf saja cukup?" tanya Pak Taryana marah. "Saya kebingungan di rumah sakit cari informasi kesana-kesini, tapi nyatanya itu semua bohong."
Wanda dan Jody semakin menunduk. Pak Taryana benar-benar marah sekarang. Mereka gak nyangka gurunya bakal semarah ini, Pak Taryana kan selama ini dikenal sebagai guru yang baik hati dan suka memaafkan di hari selain lebaran. Ya, salah mereka sendiri, sih, orang urusannya belum selesai, malah mau pergi aja, ditambah lagi dengan tampang mereka yang super Wajah Tanpa Dosa.
"Ya, sudah," Pak Taryana meredakan emosinya, "Wanda, kamu juga harus minta maaf dan mengumpulkan tanda tangan anak-anak kelas Jody."
Wanda sudah membuka mulutnya untuk protes, tapi langsung gak jadi begitu melihat tampang Pak Taryana. "Ehh, iya, Pak." Wanda kembali menunduk. Cuma minta maaf apa susahnya? Lagian, walaupun gak sekelas, temen-temennya Jody kan termasuk temennya juga. Jadi gak bakal canggung ato gimana.
"Seperti yang Bapak katakan tadi, tentu minta maaf saja tidak cukup. Kalian juga harus membuat makalah tentang materi ulangan ini, yaitu, sejarah penemuan Homo Erectus di Indonesia. 30 lembar. Dikumpulkannya minggu depan."
Haaaaaah?! Wanda dan Jody langsung terlonjak kaget, "Apa pak?! Buat makalah tentang Homo Erectus?! 30 lembar sampe minggu depan?" tanya Wanda gak percaya.
"Tepat sekali! Kalian tidak perlu mengerjakannya satu-satu. Cukup satu makalah untuk kalian berdua" jawab Pak Taryana sambil tersenyum seakan menikmati ekspresi kaget wajah mereka. “Dan satu lagi, jangan menggunakan buku dari perpustakaan sekolah karena saya sudah membaca semua buku sejarah di sana. Lagipula, di sana tidak ada referensi lengkap untuk tugas kalian. Jadi carilah bahan di luar sana, berikan saya bacaan baru.”
Appppaa?
“Kenapa gak boleh, Pak? Saya cinta banget sama perpustakaan di sini!” tanya Jody.
“Benarkah?” Pak Taryana tertawa, “Sayangnya saya tidak pernah melihat kamu masuk perpus, Jody.”
Wanda menyikut Jody , “Kalo bikin alasan yang masuk akal!” bisiknya kesal.
"Pak, kita kan masih SMU, kalo makalah kan biasanya buat mahasiswa. Jadi mending Bapak kasih kita satu buku referensi aja terus nanti kita rangkum. Kita buat satu orang satu deh, Pak!" ujar Wanda.
Pak Taryana menggeleng, "Justru karena kalian masih SMU jadi kalian harus berlatih menjadi mahasiswa dari sekarang. Yaitu dengan membuat makalah."
"Tapi, Pak…" sela Jody.
"Ini sudah saya putuskan," potong Pak Taryana. "Tidak bisa diganggu gugat lagi. Atau, kalian lebih memilih saya mengirim surat skorsing pada orang tua kalian?"
"Tunggu dulu, Pak! Saya kan cuma bantuin aja, lagian saya gak sekelas sama Jody, jadi gak perlu ikutan bikin makalah." Wanda membela diri.
"Itu sama saja. Apalagi saya wali kelas kamu, saya bisa saja menjatuhkan nilai kamu yang bagus-bagus itu,"
Ugh, sial! Wanda gak bisa protes lagi, dia gak mau hasil belajarnya selama ini sia-sia. Ini semua gara-gara Jody! Wanda meremas tangannya.
"Yang jelas, jika kalian tidak mengerjakan tugas istimewa ini, akan fatal akibatnya. Saya sendiri tidak habis pikir Jody, bagaimana kamu bisa mendapat ide konyol seperti itu,"
Baru saja Wanda ingin buka mulut, Jody keburu memotongnya, "Sekali lagi saya minta maaf, Pak!" katanya cepat. Wanda hanya bisa terperangah menatap Jody yang menunduk.
"Jo, kenapa lo ngaku kalo itu ide lo?" tanya Wanda setelah mereka keluar dari ruang guru.
"Udahlah, kita omongin lagi pas pulang sekolah, oke!" kata Jody lalu masuk ke kelasnya.

><><><><

Sekarang sudah jam16.30, tapi Jody belum juga pulang ke rumah. Tadinya mau pulang sekolah bareng, tapi Jody baru inget kalo dia harus latihan basket. Jadi dia menyuruh Wanda untuk pulang duluan. Sebenernya bisa aja, sih Wanda maksa Jody bolos latihan supaya bisa pulang bareng, tapi mengingat dan menimbang kalo Jody baru aja kepilih jadi anggota inti di tim basketnya, Wanda jadi gak tega. Ya, terpaksa deh, dia pulang sendirian.

><><><><

Di sebuah warung internet, Jody sedang sibuk mencari tempat meminjam buku (yang bisa dijiplak isinya) untuk makalah sejarahnya dengan mesin pencari. Latihan basket hanya alasan agar Wanda pulang duluan, ia bertekad untuk membuat tugas makalah itu sendirian. Sesungguhnya ia merasa bersalah karena sepertinya ia telah mempermalukan saudaranya di depan wali kelasnya. Jadi, tugas ini biar gue sendiri aja yang ngerjain, pikirnya.
Sebenarnya bisa saja ia menyalin dari berbagai tulisan yang ada di internet, tapi kekhawatiran bahwa Pak Taryana bisa saja mengetahui tugasnya hanya hasil unduhan dan menyebabkan hukuman yang lebih berat lagi. Lagipula di setiap tulisan yang ia temui tidak ada yang panjangnya sampai 30 lembar. Jody memang terlalu malas untuk mengumpulkan semua bahan tulisannya dari berbagai sumber. Baginya menemukan satu sumber yang lengkap itu sudah cukup. Kalo udah ketemu tinggal disalin aja, pikirnya.
Ini dia! Ternyata ada bukunya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jody sangat bersemangat ketika menemukan sebuah buku tentang manusia purba.
Lokasi perpustakaannya ternyata ada di universitas yang tidak jauh dari sekolahnya. Jody segera mencatat informasi buku itu.


No. Index : S429x98
Judul : Penemuan Fosil Homo Erectus di Sangiran dan Trinil
Penulis : Koesmono Adijaya
Tempat : Perpustakaan Utama Lt. 4

20 menit kemudian Jody sudah ada di depan penjaga pepustakaan di lantai 4 yang menanyakan hal-hal tak terduga olehnya. Ternyata buku itu bukanlah sebiah buku teks seperti yang dibayangkan Jody sebelumnya, melainkan sebuah skripsi, yang, sesuai peraturan yang baru Jody tahu dari penjaga itu bahwa skripsi tidak boleh dipinjam bahkan oleh mahasiswanya sendiri. Orang yang mau meminjamnya hanya boleh mem-fotocopy-nya dengan menunjukkan KTP.
Sayangnya, Jody baru 16 tahun. Kartu pelajar tidak berlaku di sini Damn! Kenapa tadi di web gak ditulis kalo itu skripsi sih? Ia juga menyesal tidak membaca peraturan peminjaman yang tertera di situs itu. Batinnya kesal. Ok, gue udah nyampe sini, gak boleh pulang dengan tangan kosong! Seenggaknya gue harus beli bakso di kantin sini, Bukan! Bukan! Kok malah itu, sih? Jody mengomeli dirinya sendiri. Ia lalu membulatkan tekadnya, mencari cara untuk mendapatkan buku itu.
Gue harus keliatan meyakinkan bahwa gue adalah pecinta sejarah dan sangat membutuhkan buku itu. “Pak, ada cara lain gak supaya saya bisa baca skripsi itu? Saya sedang mendapat tugas dari guru saya untuk menulis tentang Homo Erectus, sebenarnya bisa saja saya mengunakan buku di perpus sekolah, tapi gak ada yang lengkap, paling cuma ditulis satu bab.” Jody menatap penjaga perpus itu. “Saya memang murid yang perfeksionis yang selalu ingin tugas saya harus lengkap. Jadi, bisakah Anda meminjamkannya pada saya?”
Penjaga itu terdiam sebentar. Entah menatap heran atau kagum pada Jody. “Jadi kamu tertarik sama homo erectus?”
“Sangat!” padahal batinnya berkata, najis dah kalo gue sampe beneran tertarik sama manusia purba. Gue masih normal sebagai cowok.
“Bagus, jarang ada anak seperti kamu. Tapi tidak heran juga kamu tertarik, saya juga suka sejarah purba, kamu tentunya tahu kan keunggulan manusia jenis homo?”
Hah?! Kehebatan orang homo?
Maksudnya mereka bisa menahan nafsu terhadap wanita? Mampu melarikan diri dari Satpol yang merazia para banci? Perasaannya lebih lembut? Jody terus bertanya-tanya dalam hati apa maksud pertanyaan penjaga ini dan jawaban yang paling tepat yang harus ia lontarkan.
“Hmmm,,” Jody terus berpikir. Ia yakin jawabannya tentang manusia homo pasti benar. “Mereka bisa menahan naf…”
“Pak Joko!” seorang Ibu paruh baya tiba-tiba memanggil penjaga itu lalu menghampirinya.
“Oh, ada apa, Bu?” penjaga yang bernama Pak Joko itu menoleh.
“Buku di rak R2 sudah kok belum dipindahkan ke lantai 2?”
“Oh, iya, Bu. Tadinya sudah saya mau kerjakan, tapi ada anak ini,”
“Siapa dia?” tanya Ibu itu, membuat Jody semakin tidak enak.
“Anak SMA yang mau pinjam skripsi di sini.” Jawab Pak Joko. Ibu itu segera menoleh heran pada Jody.
Jody pun cepat-cepat menjelaskan niatnya. Hal yang sama yang ia ceritakan pada Pak Joko sebelumnya.
“Oh, bagus juga sih kamu perfeksionis,” komentar Ibu itu akhirnya. “Manusia jenis homo itu memang menurut penelitian lebih cerdas dan mempunyai kehidupan yang lebih maju.”
Ooh, Jody baru tersadar akan kebodohannya tadi. Tentu saja yang mereka bicarakan jenis manusia homo di zaman purba. Gue tadi mikir apa, sih? Jadi ngerasa bego sendiri. “Iya, Bu, mereka memang lebih cerdas dari manusia jenis lainnya.” Jody segera menutupi kebodohannya.
“O, iya, tadi kamu bilang manusia homo bisa menahan-naf apa?” tanya Pak Joko.
Kenapa masih inget, sih? Batin Jody kesal. “Bisa menahan naf…” Jody berpikir keras. Gak mungkin bisa menahan nafsu. “…as. Ya saya pernah baca di sebuah jurnal bahwa ada kemungkinan homo erectus itu bisa menahan nafas tiga menit,” Jody berharap khayalan super indahnya bisa diterima oleh akal kedua orang di depannya.
Ibu dan Bapak itu lantas terkejut dengan perkataannya. Jody pun cepat-cepat menambahkan, “Makanya saya mau mencari tahu dari semua buku tentang homo erectus bahwa penelitian itu benar atau nggak.”
Keduanya terdiam sebentar lalu saling menoleh dan menatap Jody. Yang ditatap menjadi semakin tegang. Apa gue langsung diusir dari sini?
“Ok, kamu bisa mem-fotocopy skripsi itu.” Kata Ibu itu. “Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya!”
“Terima kasih banyak!” senyum Jody melebar.

><><><><

Di kamar, Wanda memandang foto yang dicetak Jody dua minggu lalu, foto ia, Jody dan teman-temannya di tribun penonton di dalam lapangan basket sekolah ketika mendengar pengumuman bahwa Jody lolos sebagai tim inti klub basket. Ia masih ingat waktu dia dan temen-temennya jadi supporter Jody. Waktu itu tim udah memilih empat pemain inti, dan untuk pemain yang terakhir pelatih masih bingung antara memilih Jody atau anak kelas satu lainnya yang bernama Rino. Saat itu untuk memilih salah satunya, pelatih menyuruh mereka tanding satu lawan satu dan yang paling cepat mencetak point duluan, dialah yang akan terpilih.
Waktu itu Wanda 'n friends dengan semangat 45 ngedukung Jody (Jody janji bakal nraktir mereka kalo dia kepilih), mereka semua duduk di bangku penonton yang ada di belakang ringnya Rino, katanya, sih biar kalo bolanya masuk bisa lebih keliatan (emangnya sepak bola?). Tapi Wanda sendiri gak ada di bangku penonton, dia berdiri sambil memegang kamera di belakang ringnya Jody soalnya dia pengin mengambil gambar pas Jody dan Rino rebutan bola di bawah ring. Dan bener aja, dia berhasil mengambil gambar mereka pas lagi rebutan bola di bawah ring, saat itu Rino lagi mau bikin dunk, tapi berhasil diblok sama Jody. Akhirnya Jody mendapatkan bola itu dan segera melakukan serangan balik, Jodypun menang.
Satu jam berlalu, tapi Jody belum juga menunjukkan penampakannya. Jody ke mana aja, sih? Masa latihan basket sampe malem gini belum juga selesai? Tanya Wanda dalam hati. Tapi kalo dipikir-pikir kok dia, ya yang ngerasa bersalah? kan Jody yang maksa dia ngelakuin semua ini, lagian akibatnya kan gak berpengaruh apa-apa sama kelas-nya. Jadi, yang paling disalahin dalam masalah ini harusnya Jody, bukan dia.

Tapi kok tetep ngerasa bersalah, ya?

Arrrrgh! Wanda jadi pusing, apalagi dia harus bikin makalah tentang sejarah Indonesia. Sejarah, kenapa harus pelajaran sejarah, sih? Wanda mengeluh dalam hati. Pasti-nya dia akan jauh lebih bersemangat kalo harus membuat makalah tentang Harry Potter yang booming di banyak negara atau sejarah tentang kejadian mengecilnya tubuh Sinichi Kudo di film Detective Conan.
"Tok! Tok!" tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Wanda.
"Masuk!" kata Wanda.
"Hello!" Wanda menoleh, kepala Jody muncul di balik pintu.
"Hmh, dari mana aja, lo?" tanya Wanda sebel, lalu duduk di atas kasurnya.
Jody tersenyum, "Lo pasti dari tadi nungguin gue, ya?" tanya Jody lalu duduk berhadapan dengan Wanda.
"Enggak, cuma heran aja hari gini baru pulang," jawab Wanda gengsi. "Mana masih setelan seragam lengkap, lagi!" tambahnya sambil menatap Jody dari atas sampe bawah.
"Ya, tadinya juga gue mau diomelin sama Mama gara-gara pulang jam segini terus masih pake seragam, dikiranya gue bolos sekolah. Tapi begitu gue jelasin kenapa gue telat pulang, eh, Mama malah seneng dan bangga sama gue,"
"Kok bisa? Emang lo ngomong apaan?" tanya Wanda.
"Itu bukan karena omongan gue, harusnya lo nanya 'emang lo ngapain?'"
"Iyaa, emang lo ngapain?" tanya Wanda sebel. Ribet banget, sih!
"Gue tadi ke perpustakaan di universitas gitu, deh!"
"What?! Perpustakaan universitas? Lo beneran pergi ke sana? Bener-bener keajaiban dunia!" kata Wanda gak percaya. Jody pergi ke perpustakaan universitas itu emang suatu kajaiban baginya, secara kembarannya itu juga gak pernah ke perpustakaan sekolah.
"Gak usah histeris gitu, deh. Biasa aja lagi, ekspresi lo sama aja kayak Mama tadi." kata Jody sebel. Kesannya kayak yang dia bener-bener gak pernah baca buku.
"Ok, terus kenapa tiba-tiba lo ke sana? Pasti ada apa-apanya, apa karena omongan Pak Taryana yang langsung ngerubah lo jadi kutu buku?"
"Ya, ini emang karena Pak Taryana," Wanda melotot kaget mendengarnya. Bener-bener gak nyangka kalo seorang guru seperti Pak Taryana bisa ngerubah Jody hanya dengan satu kali omongan.
"Tapi gue ke sana bukan mau baca buku," sambung Jody cepat, dia ngerasa gak enak dipelototin Wanda kayak gitu.
"So?" ekspresi Wanda langsung berubah.
"Gue ke sana minjem buku yang gak ada di perpus sekolahan." Wanda masih gak ngerti. "Gue minjem ini…" lanjut Jody sambil membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah buku fotokopian tebal yang dijilid.
"Apaan tuh?"
"Liat aja sendiri!" Jody memberikan buku itu pada Wanda.
Wanda membaca judul buku itu. "Ini kan skripsi tentang penemuan homo erectus?" tanya Wanda makin gak ngerti.
Jody hanya mengangguk bangga sambil tersenyum tanpa ingin menceritakan bagaimana ia mendapatkannya. "Justru itu, masalah kita udah selesai sekarang."
Sekarang Wanda mengerti maksud Jody. Namun, masih ada keraguan dalam hatinya. "Lo yakin kita bisa pake ini? Ini kan biasanya buat mahasiswa, lagian kita buat makalah kan? Bukan skripsi,"
"Bukannya Pak Taryana sendiri yang bilang kalo kita harus latihan jadi mahasiswa dari sekarang? Lagian pake skripsi atau makalah sama aja, lagi. Toh, kita gak bakal nyalin semuanya.” Jody menatap kembarannya. “Siap buat ngerangkum 30 lembar?”

to be continued...
Read more...

Kamis, 30 Juli 2009

7 Juli 2oo9

Gw udah pernah bilang kan kalo gw mau jadi backpacker dan keliling dunia, dan untuk pertama kalinya gue pergi keluar negeri adalah saat jurusan gue ngadain study visit ke KL dan S’pore. Well, gw jadi pengen nulis pengalaman gue di sana, dari proses awal ampe pas balik lagi ke Jakarta. Siapa tau kalo biasa nulis tentang perjalanan kita bisa jadi kayak Trinity ato penulis traveler lainnya,, Hhe.. (ngarep!).

So, this is where the story begins...

“Jurusan Hubungan Internasional akan mengadakan study visit ke luar negeri, yaitu ke Malaysia dan Singapura. Tidak ada persyaratan khusus untuk ikut study visit ini, semester berapapun bisa ikut. Asal biaya ditanggung sendiri dan tidak melebihi batas kuota yang ditentukan, yaitu 45 orang.” Pak Arman menyudahi kelas politiknya dengan pengumuman itu.



Di bangku belakang (dan memang selalu di barisan itulah gw duduk, terutama di kelas politik), gw terdiam, termenung dan menimbang, ikut atau tidak? Beberapa meter dari gw terlihat temen-temen gw mengerumun, asyik berdiskusi untuk ikut study visit itu dan bertekad belanja sebanyak-banyaknya di sana!

Di perjalanan pulang, sambil mengendarai skuter matic gw, gw masih mikirin study visit itu. Alhamdulilah ga’ ada gerobak yg gw tabrak karena gw bawa motor tapi pkiran gw ngelantur sampe menara Petronas.
Sampe rumah pun gw masih mengkhawatirkan hal-hal buruk yang mungkin menimpa Indonesia kalo gw ninggalin negeri ini, meskipun hanya beberapa hari.
Akankah terjadi teror bom lagi di bumi Indonesia?
Akankah harga minyak melonjak naik?
Akankah SBY tetap terpilih?
Akankah Marvel dan Melati jadi bercerai di episode mendatang? (jadi inget sama Nenek gw yang suka banget sama sinetron ini, da si Marpel mah teu kasep, Nin! Kasepan oge si Mr. Charming*).
Anyway, malemnya gw baru tersadar akan suatu hal. Hal yang amat penting dan sangat menentukan apakah gw jadi ikut pergi buat study visit itu atau tidak. Apakah gw akan menjadi the real mahasiswa Hubungan Internasional dengan benar-benar pergi ke luar negeri dan berinteraksi lintas negara di dunia nyata (kalo lewat internet mah sama aja!), atau gw akan hanya menjadi mahasiswa Hubungan Interlokal karena pengalaman gw hanya di daerah domestik?
Di malam itu gw akhirnya memberanikan diri, meskipun hati ini sangat berat melakukannya, tetapi apa dayaku? Tak ada pilihan lain kecuali melakukannya. Ayah, Bunda, maafkanlah aku. Untuk mendapatkan dana untuk mengikuti study visit itu, aku harus berusaha dengan cara apapun. Setelah memastikan bahwa penampilanku sudah pas, maka pergilah aku ke perempatan jalan, Eh, bukan!!!!! Bukan begitu ceritanya!!!!!!

Ok, lanjutin ke cerita asli,

Di malam itu gw memutuskan bahwa besok pagi gw memang harus melakukan sesuatu yang sangat menentukan untuk bisa dapet dana buat ikut study visit dan memang tugas ini secara mental berat banget buat gw laksanain. Hal yang 100% mutlak harus gw lakuin adalah. . .

Ya, nanya ke ortu gwlah mereka bisa ngebayarin gw apa ngGak!

Setelah mempersiapkan diri, dengan perasaan yang bener-bener ga’ enak karena tiba-tiba aja gw harus minta uang sebanyak itu ke nyokap bokap gw (beneran, deh rasanya berat banget). Maka pergilah gw menghadap paduka Ayahanda dan Ibunda.
Ya, ga’perlu gw tulislah pembicaraannya kayak gimana, yg jelas akhirnya mereka setuju. Alhamdulilah! Pengen sujud syukur, eh lantainya lagi dipel, ywda ga’jadi.
Eh, tapi ada kejadian aneh juga lho, pas gw bilang biayanya berapa ortu gue langsung kaget gitu tampangnya, tapi akhirnya nyokap gw bilang, “yawdah, kalo demi belajar mah ga’ apa-apa.” Katanya sambil menenangkan bokap gw.
Di situ gw udah ga’ enak banget kan ngeliat raut wajah kedua orang tua gue, terutama bokap. Nah, pas gw mau beranjak pergi buat kuliah, bokap gw nanya gini, ëmang bayar tujuh jutanya kapan?”
Hah?! Gw langsung kaget sendiri. “tujuh juta? Buat apaan?” tanya gue heran.
“Lho, tadi katanya biaya study visitnya tujuh juta, kan?”
HhhhFffffff,, gw antara bingung dan mau ketawa. “siapa yang bilang begitu? Orang tadi aku bilang tiga juta,” kata gw sambil menahan tawa.
“Oh, jadi bukan tujuh juta?” tanya nyokap semangat.
“Ya, bukanlah! Masa mahal banget.” Jawab gue. Dan raut wajah kedua orang tua gue pun mulai tersenyum.

Di perjalanan ke kampus pun gw masih senyum-senyum sendiri mikirin kejadian tadi. Entah karena waktu itu gw agak tegang sehingga suara gw pas ngomong jadi ga’ jelas, atau ortu gue yang expected too high about the cost, jadi tanggapanya langsung kayak gitu. Yang jelas gw bersyukur atas segalanya .
Ditengah rasa penasaran gue apakah tiga dan tujuh memang terdengar mirip, ya sebenernya ga’ bisa gue sangkal lah, bisikan-bisikan syaiton nirrajim di hati gue, coba tadi gw bilang biayanya enam juta, pasti ortu gue tetep setuju. Tujuh juta aja boleh!. Tapi, astaghfirullah! Segera gw singkirin jauh-jauh pikiran itu, ortu gue tuh udah kerja keras buat ngebiayain gue dari kecil. Masa tega-teganya gw bohongin mereka? Jangan sampe deh gw jadi anak durhaka! Amiiin.
Puncak-puncak gedung dan kubah masjid UIN Jakarta sudah terlihat dari kejauhan. Gw mempercepat laju motor Shancai gw, ga’ boleh telat masuk kelas! (dan kalo bisa parkir di depan perpus utama tanpa ketahuan satpam!).

To be continued. . . .

Read more...